Al-Qur’an Sebagai Sumber Embrional Sains – Program Kaderisasi Ulama
ArtikelFilsafat IslamIslamic Worldview

Al-Qur’an Sebagai Sumber Embrional Sains

Oleh: Muhammad Dhiaul Fikri

Sebagai sumber pokok ajaran Islam, al-qur’an menjadi pusat perhatian para ulama, mufassir serta para ilmuan. Dalam mencari relasi antara sains dan al-Qur’an, para mufassir mulai mengkaji lebih dalam hubungan al-qur’an dengan sains yang dicurahkan dalam studi al-qur’an dan tafsir sebagaiman yang telah lama dikenal denganTafsir ‘Ilmi, di dalamnya menyita banyak perhatian dalam menemukan relasi al-qur’an dengan sains, serta pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.

Begitu juga para Ilmuan, dalam keilmuan sains alam dan sosial-humaniora, juga telah melakukan model kajian Qur’anisasi sains yang menjustifikasi teori-teori sains dengan ayat-ayat al-qur’an sehingga bisa dicapai titik temu antara keduanya. Al-Qur’an adalah mukjizat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, berisikan ayat-ayat yang relevan dengan kehidupan saat ini, serta ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya merupakan anugrah bagi manusia.

Baca juga : Alam Semesta yang Mekanistik

Salah satu sisi kemukjizatan al-qur’an yang paling utama adalah relasinya dengan sains. Relasi tersebut dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat al-qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenannya. Jika sains dikaitkan dengan fenomena alam, maka dalam al-Qur’an lebih dari 750 ayat yang menjelaskan tentang fenomena alam. Setidaknya terdapat tiga hal yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-qur’an yang memiliki relasi dengan alam raya dan fenomenannya.

Pertama: al-Qur’an menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajarinya dalam rangka meyakini dan memperkuat keyakinan akan ke-Esa-an dan Kekuasaan Tuhan. Maka, dalam mempelajarinya, manusia sejatinya dapat memanfaatkan fenomena alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan berarti bebas dan berlebihan, namun tetap dalam syarat dan ketentuan yang ada, dan juga aktvitas apapun yang dilakukan oleh manusia bukanlah untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah petunjuk kebenaran, dan kebenaran yang menunjukkan. Tugas seorang yang mukmin adalah meneruskan dan menjalakan petunjuk pada kehidupannya.

Kedua: Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya itu diciptakan, dimiliki, dan diatur oleh ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak dapat melepaskan diri dari ketetatapan-ketetapan tersebut kecuali bila Tuhan menghendakinya. Maka pengkultusan terhadap Alam raya tidak dibenarkan, karena hanya Pencipta Alam itulah yang layak untuk dikultuskan, dan segala bentuk persembahan selain kepada-NYA tidak dibenarkan.

Ketiga: redaksi yang terapat di dalam Al-qur’an dalam uraiannya tentang alam raya dan fenomenanya, bersifat singkat, teliti, dan padat. Maka, peletakan setiap aktivitas dalam kerangka al-qur’an, termasuk aktivitas ilmiah dan pola pengembangan sains, tidak dapat dilakukan tanpa landasan keilmuan yang kuat. Dalam artian, dalam menguraikan penemuannya, tidak secara kasar mengakarkan temuan ilmiah langsung kepada al-Qur’an, dan tidak pula secara instan “menurunkan” ayat al-Qur’an ke wilayah ilmu, akan tetapi mengindahkan standar-standar dan etika ilmiah untuk terhindar dari kesalahan fatal yang dapat mereduksi al-Qur’an bahkan desakralisasi al-Qur’an.

Usaha untuk memahami, mempelajari ayat-ayat al-Qur’an dan relasinya dengan sains dengan cara ilmiah bukanlah perkara mudah. Hal tersebut dilakukan agar al-Qur’an yang kemudian dihubungkan dengan sains, masih memiliki sifat otoritas kesakralanya dan keautentikannya. Hingga jika terdapat kesalahan dalam penemuan sains, kemudian dikaitkan dengan al-qur’an, kitab suci al-Qur’an tidak kehilangan sakralitas dan autentitasnya sebagai kitab suci.

Oleh karena itu, demi menggapai temuan-temuan ilmiah pada ayat-ayat al-Qur’an atau manafsirkan al-Qur’an secara ilmiah dengan teori-teori ilmiah haruslah dibangun sebuah kerja ilmiah yang disepakati secara bersama antara mufassir dan ilmuan. Dalam artian, harus diperhatian dengan baik dan teliti dalam menentukan basis filosofisnya, yaitu kerangka teori (Theoretical Framework), paradigma ilmiah (Scientific Paradigm), dan basis teologisnya (Theological Basis), serta harus melihat ketiganya pada suatu bangunan yang utuh. Dengan begitu maka akan muncul sistem dan kultur ilmiah di dalamnya.

Baca juga: Rene Descartes & Kerancuan Dualisme Cartesian

Setelah hal tersebut dibentuk, selanjutnya merumuskan basis nass dengan menghubungkan dari berbagai ayat-ayat yang saling berkaitan dengan sains tersebut, sehingga akan diperoleh pemahaman yang komprehensif dari isu tertentu sehingga tidak terjadi salah pengertian, atau pengertian yang sempit yang disebabkan meninggalkan ayat tertentu yang seharusnya dikaitkan di dalamnya. Kemudian menyusun program kerja ilmiah, mulai jangka pendek, menengah, dan panjang yang sesuai standar ilmiah tingkat tinggi yang telah disepakati secara bersama sebelumnya. Dengan pola seperti itu, maka akan melahirkan sains Qur’ani yang tetap saintifik.

Usaha ini setidaknya dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci yang autentik dan sakral  bisa dikaji lebih mendalam dalam masalah sains. Tentu, pendekatan yang harus diupayakan berbeda dengan sumber ilmu lain. al-Qur’an dengan kemukjiatannya tidak hanya terletak pada kandungan ilmu-ilmu sains tapi dari seluruh aspek, bahasa, diksi, surat bahkan huruf. Jadi kajian sains dari al-Qur’an, bukan sekedar kajian similirasi (cocokologi) antara ayat dan fenomena alam semata. Al-Qur’an tidak pantas jika ditolak hanya karena tidak sesuai dengan fenomena karena pendekatan yang keliru dan pemahaman terhadap al-Qur’an yang salah.

Oleh karena itu, ada istilah yang tepat dalam hal ini, yaitu al-Qur’an sebagai sumber embrional sains. Harus ada kajian berlapis dan bersisitem demi memunculkan ayat-ayat sains hingga bisa mengkorelasikan dan menjadikannya  landasan dalam dunia ilmu sains. Karena al-Qur’an mengandung unsur mukjizat, sedangkan tidak semua orang bisa menfasirkan kemukjizatan tersebut. Harus ada dua unsur otoritas keilmuan yang dibangun, ilmuan dan mufassir.  Wallahu’A’lam

UNIDA, 14 Agustus 2018

Penulis adalah Peserta PKU angkatan XII

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *