Pohon Feminisme Berbuah Paham Kesetaraan Gender – Program Kaderisasi Ulama
ArtikelIslam Perempuan dan Feminisme

Pohon Feminisme Berbuah Paham Kesetaraan Gender

Muhammad Reza / Peserta PKU Angkatan 17

Pendahuluan

Sebagai peradaban dan agama, Islam sangat memuliakan dan menghormati martabat wanita. Status dan peran wanita dalam Islam telah terdeklarasi secara utuh dalam undang-undang syariat Islam pada bab fiqih al-nisa yang sarat dengan kesejahteraan maslahat wanita. Semua hal terkait wanita mulai dari fashion hingga action telah disyariatkan dalam Islam. Artinya Islam begitu peduli dan detail memperhatikan urusan wanita, semua hukum syariat Islam tentang wanita tidak untuk merendahkan wanita dibanding dengan laki-laki, tidak juga untuk melecehkan status wanita, tapi justru untuk mengangkat harkat dan martabat wanita.

Program Barat yaitu liberalisasi pemikiran Islam, akhir-akhir ini telah berbuah suatu gerakan yang mengklaim bahwa sedang memperjuangkan posisi dan status wanita. Ibarat pohon, feminisme memiliki akar tunjang yang tertancap kokoh bernama liberalisme. Feminisme kini telah memiliki buah yang disebut kesetaraan gender (gender equality). Di Indonesia paham kesetaraan gender selalu menjadi isu yang kontroversial, dengan ini kami berusaha secara kritis menelaah kembali feminisme dan paham kesetaraan gender dalam perspektif Islam.

Pohon Feminisme

Feminisme tumbuh dari bibit westernisasi yang bernama liberalisme. Ia tumbuh dan berkembang dari pergerakan sekumpulan perempuan dan janda-janda perang di Barat pasca perang dunia ke-II yang memusnahkan separuh laki-laki di medan perang. Keadaan kondisi saat itu mengharuskan perempuan untuk bisa mengambil alih posisi-posisi penting di pemerintahan dan industri untuk menggantikan pekerjaan laki-laki, yang kemudian lambat laun mendapat sambutan banyak pihak. Melalui usaha yang intensif, feminisme akhirnya menjadi ideologi yang berpengaruh dalam masyarakat dewasa ini.

Feminisme berasal dari kata femina atau feminin, feminis yang merupakan kombinasi dari dua kata Fe artinya iman dan Mina atau Minus yang artinya kurang, jadi femina berarti kurang iman. Untuk memahami lebih dalam terdapat banyak definisi untuk menggambarkan feminisme, diantaranya adalah  pernyataan Jacob E Safra (Henri Shalahuddin, 2018), yang menyatakan bahwa feminisme adalah ideologi yang memiliki nilai khusus terkait budaya lokal, lingkungan persekitaran dan sejarah kemunculannya. Feminisme adalah suatu pergerakan sosial yang mencari kesamaan hak untuk perempuan. Perhatian terhadap hak-hak perempuan semakin meluas sejak zaman pencerahan (enlightenment). keyakinan terhadap kesamaan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik ini membuat faham feminisme barat dimanifestasikan di seluruh dunia dan diwakili oleh pelbagai institusi yang berkomitmen untuk aktivitas atas nama hak, dan kepentingan perempuan.

Baca Juga : Humanity Above Religion”  sebagai tameng bagi  Kaum LGBT Untuk Melawan Diskriminasi

Menurut Susan Osborne dan Marlene LeGates, feminisme adalah cara melihat dunia dari perspektif perempuan. feminisme memusatkan perhatiannya kepada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan laki-laki yang menindas perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik dan ekonomi. maka tidak mengherankan ketika aktivis Prancis, Nelly Roussel, mengasumsikan bahwa semua perempuan memiliki pengalaman yang sama dibawah sisrem patriarkis. pada tahun 1904, ia menyerukan tidak ada kelas istimewa atau penguasa kelas di antara kaum wanita.[1] Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa feminisme sebenarnya adalah ideologi yang dilandasi dengan rasa jengkel dan ketidakpuasan kaum feminis terhadap laki-laki yang menurutnya telah merendahkan dan menempatkan perempuan pada kelas dua setingkat di bawah laki-laki.

Buah dari Feminisme adalah paham Kesetaraan Gender

 Paham kesetaraan gender merupakan buah dari sebuah pohon Feminisme, Gender yang terlahir dari sebuah gerakan wanita di Barat dan kini menjadi sebuah teori sosial yang berupaya untuk melepaskan diri dari ikatan dan doktrin-doktrin agama. Dalam bermasyarakat, paham gender berupaya untuk menghilangkan strata sosial berdasarkan seks. Membicarakan tentang paham kesetaraan gender biasanya diawali dengan pembedaan antara dua istilah yaitu gender dan sex. Kedua istilah ini memiliki makna yang sama yaitu “jenis kelamin” namun keduanya berbeda dalam konotasinya. sexs konotasinya cenderung pada natural, alami anugerah dari tuhan dan bersifat biologis, sedangkan gender berkonotasi non-natural hasil pengaruh dari sifat dan kebiasaan yang dibentuk oleh manusia, dari sosial dan budaya atau human construction. Jika seks sifat dan cirinya tidak dapat dipertukarkan, sedangkan pada gender dapat dipertukarkan.

Paham kesetaraan gender sejatinya tidak lepas dari konsepsi Barat tentang wanita di masa lalu yang dipandang begitu rendah. Tidak heran jika korban di Barat adalah wanita, karena konsep dasar sosial mereka yang meletakkan wanita pada posisi kedua setelah laki-laki. Konsepsi yang merendahkan itu menghasilkan sikap sosial yang diskriminatif dan tidak adil terhadap wanita. persoalannya pun menjadi bergeser yang tadinya dari seks atau perbedaan jenis kelamin menjadi perbedaan peran sosial.

Gender dari isu sosial kemudian bergeser pada isu keagamaan seperti kata Emile Durkheim dalam Muhammad Muslih,2015. “That nearly all the great social institutions were born in religion…if religion gives birth to all that is essential in society, that is so because the idea of society is the soul of religion”. Pernyataan Durkheim ini menegaskan bahwa begitu kuatnya pengaruh agama terhadap kehidupan sosial, dengan artian lain bahwa hampir semua peradaban manusia yang ada di muka bumi pada dasarnya dimotori oleh keyakinan agama. dalam hal ini semua kegiatan sosial dan agama akan selalu memiliki ketersinggungan, bahkan masalah gender, agama akan ikut terlibat membahasnya.[2]

Baca Juga : Standar Ganda Humanisme: Memanusiakan Manusia Atas Menuhankan Manusia

Demikianlah, isu yang diangkat oleh aktivis gender pada awal sejarahnya adalah isu sosial. Gender dibangun atas keprihatinan terhadap masalah sosial, terutama pada masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi rendah, hal yang demikian itu pada masyarakat muslim tidak terjadi, karena merendahkan perempuan adalah suatu hal yang bertolak belakang dengan ajaran islam.

Kesimpulan

            Dari sebuah gerakan kemanusiaan yang bertujuan melawan penindasan laki-laki terhadap perempuan di Barat serta menggantikan peran laki-laki yang mereka anggap lemah pasca perang dunia, gerakan yang diinisiasi oleh perempuan tersebut menjelma menjadi ideologi feminisme dan berbuah paham kesetaraan gender yang sejatinya hanyalah solusi lokal masyarakat barat untuk keluar dari sebuah krisis kemanusiaan, sosial dan ekonomi. Tentunya krisis dan solusi ini tidak universal. Sebaliknya dalam Islam, hubungan laki-laki dan perempuan tidak dipandang sebagai hubungan kekuasaan antara penindas dan yang tertindas. Keserasian relasi antara kedua jenis kelamin ini laki-laki dan perempuan secara indah digambarkan dalam Al-Quran.


[1] Henri Shalahuddin: Feminisme dan Kesetaraan Gender, Tantangan Wanita Muslimah (INSIST UNIDA Gontor Press. Ponorogo:2018) Cet-I hal 6.

[2] Muhammad Muslih. Bangunan Wacana Gender (CIOS UNIDA Gontor. Ponorogo:2015) Cet-II. Hal 13

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *