Oleh: Fachri Khoerudin
pku.unida.gontor.ac.id- Kesetaraan gender adalah isu yang selalu hangat dan relevan untuk dibicarakan. Alasannya, karena setiap kali isu ini muncul, respon masyarakat selalu saja sama sampai kapanpun; ada yang pro, dan ada yang kontra. Bukan hanya di kalangan akademisi saja, isu ini juga diperdebatkan di kalangan masyarakat awam seperti debat “kusir” di medsos misalnya. Karena kesetaraan gender merupakan isu yang selalu hangat, maka secara otomatis, wacana-wacana, gagasan-gagasan, perdebatan-perdebatan dan karya-karya mengenai hal ini akan selalu bermunculan.
Salah satu wacana yang sering muncul adalah peninjauan ulang beberapa syariah dalam Islam agar lebih “ramah” terhadap feminisme. Tentu, tidak ada metode lain yang lebih cocok untuk menjalankan wacana tersebut kecuali dengan meninjau syariah tersebut dalam perspektif gender. Maka, apabila kita berbicara tentang “syariah perspektif gender”, pasti dibalik itu semua ada kepentingan dari feminis ataupun orang yang membela terhadap paham tersebut agar feminisme bisa mendapat tempat dalam ranah agama, terkhusus agama Islam.
BACA JUGA: Perlukah feminisme dalam Islam ?
Beberapa Perbincangan Intelektual Muslim
Beberapa pemikir Islam kontemporer telah membicarkan mengenai pendekonstruksian syariah semacam ini. Syahrur misalnya, beliau mendekonstruksi batasan aurat dalam Islam. Menurut Syahrur, definisi sebenarnya dari aurat adalah “sesuatu yang membuat malu apabila hal tersebut diperlihatkan dan diketahui khalayak ramai”. Karena definisi aurat berkaitan dengan “sense of self”, maka batasan aurat itu tidak pasti dan sangat relatif. Selain itu, menurut beliau, aurat itu tidak berkaitan dengan halal atau haram, namun lebih kepada selera, suka atau tidak suka. (Syahrur, 2001: 370-373). Meskipun Syahrur tidak secara langsung menyebutkan bahwa dia ingin mendekonstruksi syariah agar lebih “ramah” pada perempuan, tetapi pembicaraannya mengenai batasan aurat dan jilbab sangat identik dengan masalah perempuan.
Selain Syahrur, Nashr Hamid Abu Zaid juga berpandangan sama, meskipun dalam kasus yang berbeda. Abu Zaid mengkritisi pemberlakuan syariat waris yang “terlalu partiarkhi”. Menurut beliau, syariat waris memang cocok pada zaman rasul, namun untuk diterapkan sekarang hal tersebut tidak relevan lagi. Munculnya pembagian 1:1/2 bagi laki-laki dan perempuan sangat terkait dengan konteks sosial bangsa arab pada saat itu yang memang baru melaksanakan “tahap awal” pengangkatan terhadap hak perempuan. Namun pada zaman sekarang, tahap tersebut harus ditingkatakan lagi ke “tahap akhir” dimana perempuan dan laki-laki mendapatkan bagian yang sama. (Zaid, 2004: 29). Dengan kata lain, Abu Zaid memberlakukan teori maskut ‘anhu dan metode tadarruj fil hukmi versi beliau dalam hukum waris.
Bukan hanya para pemikir Islam di Jazirah Arab dan Afrika, pemikir Islam di Indonesiapun turut “berkontribusi” untuk menyebarkan wacana syariah perspektif gender. Tokoh yang paling terkenal dan vokal salah satunya adalah Nasaruddin Umar. Sebagai tokoh Islam yang “tidak biasa” dengan segudang pengalaman akademis yang hebat, saat ini menjadi imam di Masjid Istiqlal dan pernah menjadi wakil Mentri Agama Republik Indonesia, tentu adalah hal yang cukup “miris” karena beliau sendiri justru bersebrangan pendapatnya dengan mayoritas umat Islam yang merasa “risih” dengan wacana syariah perspektif gender.
Dalam bukunya yang berjudul Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminim, beliau berkomentar tentang masalah Jilbab. Menurut beliau, dikalangan antropologis menganggap bahwa penggunaan cadar atau kerudung pertama kalinya bukan berawal dari perintah ajaran kitab suci, tetapi dari suatu kepercayaan yang beranggapan bahwa “si mata Iblis” harus dicegah dengan menggunakan cadar”. Kemudian beliau menunjukan bukti bahwa cadar, kerundung dan jilbab dalam Islam merupakan metamorfosis dari kebudayaan di masa lalu. Dalam bab 1 buku tersebut beliau membuat sebuah sub-bab kecil yang berjudul “Sejarah Tradisi Jilbab; Sebuah Konstruk Tubuh Perempuan”. Kesimpulan dari pemaparan beliau adalah jilbab terpengaruh oleh budaya Yunani yang pada masa Abbasiah bercampur dengan tradisi Islam. Dalam Islam yang dipentingkan itu bukan Jilbab, tapi menutup aurat. Aurat itu sendiri pada zaman rasul erat kaitannya dengan keamanan, suatu hal yang dapat berubah tergantung kondisi sosial masyarakat sekitar. Bahkan, beliau menyebutkan “jilbab dan semacamnya tetap merupakan ajaran Islam yang perlu diindahkan. Setidaknya jilbab akan menjadi ajaran etika dan estetika (tahsiniyyat). (Nasaruddin, 2014: 38-40).
Mungkinkah Syariat Berbasis Gender?
Berdasarkan pemaparan dari intelektual Islam di atas, tentu dalam benak siapapun yang membaca, akan muncul sebuah pertanyaan; apakah benar syariat harus “dikelaminkan” menjadi pro maskulin dan mendiskriminasi feminim? Tentu pertanyaan tersebut bukan muncul dari “ruang ketidak tahuan” tetapi muncul dari “ruang keheranan”, kenapa bisa muncul wacana dekonstruksi syariat perspektif gender tersebut?
Setidaknya, untuk menjawab “rasa heran” tersebut, ada beberapa hal yang bisa dikritisi dari wacana-wacana dekonstruksi syariah yang sudah dipaparkan sebelumnya. Pertama, dari aspek inkonsistensi penerapan metode. Selama ini peninjauan syariah dari sisi gender hanya berlaku bagi syariat-syariat yang seolah “merugikan” perempuan, tetapi untuk syariat yang “menguntungkan” perempuan, metode gender tidak dibicarakan sama sekali. Misalnya dalam permasalahan haid. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan kenapa laki-laki harus selalu shalat, sedangkan perempuan tidak shalat ketika haid? Bukankah “libur shalat” adalah sesuatu yang menguntungkan bagi perempuan? Atau misalnya dalam masalah bayar fidyah. Lagi-lagi, kenapa orang yang hamil dan menyusui harus membayar fidyah dan tidak shaum sedangkan laki-laki shaum? Bukankah itu artinya tidak adil? Apalagi yang membayar fidyah tersebut adalah suaminya. Sudah shaum, bayar lagi. Tentu, pemikiran semacam ini akan muncul kalau syariah “dikelaminkan”.
Kedua, generalisasi kasus. Salah satu argumentasi yang paling sering diajukan ketika berbicara masalah syariat yang dianggap mendiskriminasi perempuan adalah beberapa pengalaman perempuan yang “terdzolimi” karena syariat tersebut. Dalam kasus poligami misalnya, seringkali disodorkan bukti-bukti bahwa poligami mengekang rasa cinta perempuan sehingga berujung pada retaknya rumah tangga. Namun yang menjadi catatan adalah, kenapa beberapa kasus poligami yang “sakinah” tidak diangkat sama sekali? Bukankah para sahabat zaman nabi kebanyakan berpoligami? Apakah mereka hancur rumah tangganya? Tentu tidak. Malah, apabila berkaca pada data, 51% pernikahan di Amerika –yang tentunya tidak berpoligami- berujung pada perceraian. Jadi sebenarnya penyebab tidak harmonisnya rumah tangga itu apa? Apakah poligaminya? Atau sesuatu yang lain?
BACA JUGA: Wacana Feminisme di Ruang Publik: Mewaspadai Modus Operandi
Ketiga, menerapkan pengalaman personal untuk membangun kerangka epistimologis. Mengenai hal ini, usaha untuk dekonstruksi syariat selalu bersembunyi dibalik kalimat “tidak adil”, “merendahkan” atau “mendiskriminasi”. Namun pertanyaannya, apakah semua perempuan merasa didiskriminasi atau direndahkan oleh syariat? Dalam kasus wanita memiliki kewajiban taat pada suami misalnya, apakah semua wanita menganggap bahwa “taat” pada suami merupakan simbol dari perbudakan dan penonjolan “superioritas” kaum laki-laki? Faktanya sampai saat ini, banyak wanita yang merasa rela dan nyaman apabila dia taat pada suaminya.
Keempat, selalu meninjau segala sesuatu dari perspektif gender. Ada sebuah hal yang cukup aneh ketika para pengusung wacana syariah perspektif gender selalu melihat sesuatu lewat kacamata gender, termasuk dalam masalah syariat. Bagi mereka syariat akan selalu terbagi menjadi “pro laki-laki” dan “diskriminatif terhadap perempuan” seolah perempuan selalu terdzolimi dalam syariat. Padahal, syariat sama sekali tidak “serendah” itu dengan memiliki kepentingan gender di dalamnya. Dalam masalah waris misalnya. Mereka selalu mempermasalahkan 1:1/2 bagi laki-laki dan perempuan itu tidak adil. Namun yang jadi pertanyaan, apakah benar dalam waris laki-laki selalu “untung” dan perempuan selalu “rugi”? apabila melihat contoh kasus waris simayit meninggalkan 1). Bapak, 2). Cucu perempuan dari anak laki-laki, 3). Kakek dari Bapak, maka semuanya akan jelas. Cucu perempuan mendapatkan ½ dari harta, sedangkan bapak mendapatkan ashabah artinya ½ juga. Lalu kakek? Dia tidak mendapatkan warisan. Pertanyaannya, apabila waris dilihat dari segi gender, siapa yang untung disini? Tentu saja cucu perempuan tersebut karena porsinya sama dengan bapak dan lebih besar dari kakek yang notabene adalah laki-laki. Apabila seperti ini, apakah masih relevan syariat dipandang berdasarkan kepentingan gender? Lalu jikalau masih memandang dari kacamata gender, bagaimanakah dengan syariat shalat berjamaah ketika laki-laki harus pergi kemasjid, sedangkan pahalanya sama dengan perempuan yang shalat di rumah? Bukankah “repot-repot” pergi ke masjid merugikan laki-laki dan dalam kacamata gender lebih menguntungkan perempuan? Oleh karena itu, sekali lagi, syariat terlalu “rendah” dan “hina” apabila dipandang dengan kacamata gender.
Maka jawaban untuk pertanyaan yang dikemukakan di awal tadi adalah mustahil. Maksudnya, tidak mungkin ada syariat perspektif gender karena syariat itu sendiri tidak memiliki perspektif sama sekali. Memandang syariat lewat kacamata gender hanya akan memutaghayyirat-kan yang tsubut dan merelatifkan syariat yang baku. Apabila kejadiannya seperti itu, maka agama Islam yang dibangun berdasarkan syariat, akan menjadi agama yang bergantung pada sejarah, dan fungsi rasul sebagai pembawa syariat tidak berguna sama sekali.[]
Penulis adalah peserta program kaderisasi ulama (PKU XIII) Unida Gontor.
Ed. Yongki Sutoyo.
One Response
[…] BACA JUGA: Syariah Perspektif Gender, Mungkinkah? […]