Tasya Putri Nurhayat /Peserta PKU Angkatan 16
Kisah dalam Al-Qur’an mempunyai kelebihan yaitu memilki kebenaran yang nyata (As-Sya’rawî: 1991, 235), penggambaran dan maksud yang indah, serta hikmah yang terkandung sangat sesuai dengan susunan kata yang dimilkinya (Bâḥâziq: 1994, 223) . Tetapi terdapat beberapa sikap berbeda dari para cendikiawan dalam menanggapi kisah didalam al-Qur’an, diantaranya adalah mereka yang menganggap dan percaya bahwa kisah di dalam al-Qur’an adalah mitos yang tidak pernah terjadi (Shihab: 2019, 281). Bahkan ilmuan muslim Muhammad Syahrur berpandangan bahwa kisah dalam Al-Qur’an memiliki susunan kata yang tidak sistematis (Syahrur: 1990, 675). Namun, apabila kisah di dalam al-Qur’an hanya sebagai mitos dengan susunan kata yang tidak sistematis, mengapa Sya’rawi dan Bahaziq menyatakan bahwa kisah yang ada didalamnya memiliki susunan kata yang tepat dan merupakan sebuah hal yang nyata? Untuk mengetahui hal itu, alangkah baiknya meninjau bagaimana salah satu kisah dalam al-Qur’an dan susunan kata yang menyusunnya, apakah Al-Qur’an dapat membuktikan kebenarannya?
Dari Linguistik ke Tafsir Sains
Perlu diketahui bahwa linguistic Al-Qur’an memiliki korelasi yang kuat dengan tafsir sains sebagai pembuktian bagaimana kebenaran kisah dalam Al-Qur’an. Para ulama telah bersepakat, untuk memahami al-Qur’an secara keseluruhan perlu penguasaan linguistic Al-Qur’an, yaitu bahasa Arab, hal ini diperlukan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an, yang mengharuskan pemahaman pada setiap kalimatnya agar dapat memahami maknanya secara sempurna dan terjauhkan dari kesalahan (Zubaidi & Muslih: 2018, 49). Sedangkan tafsir sains adalah tafsir yang membahas istilah-istilah ilmiah didalam al-Qur’an dan berusaha untuk mendapatkan dan menyimpulkan ilmu darinya (Al-Alamiyah: t.t, 9). Korelasi keduanya memiliki fungsi untuk membuktikan bagaimana kebenaran kisah dalam Al-Qur’an dan salah satunya terdapat dalam Kisah Maryam.
Baca Juga : Jabir Ibnu Hayyan: Ilmuan Kimia dalam Sejarah Islam – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)
Dalam Kisah Maryam pada surat Maryam ayat 25 terdapat kalimat wahuzzî. yang merupakan kalimat perintah yang memiliki makna “gerakanlah” (Al-Misri: t.t, 423). Hal ini sesuai dengan definisi yang ada dalam Kitab al-‘Ain yaitu gerakanlah (Ahmad: 2003, 308), dan diperkuat dengan buku tafsir Daraju ad-Duror karya ‘Abdurrahman al-Jurjani, makna dari huzzi adalah gerakanlah (Al-Jurjani: 2008, 171). Dan gerakan yang dimaksud adalah gerakan yang membutuhkan tenaga atau kesungguhan (Yunus: 2007, 396).
Adapun pemilihan kata Wahuzzi memiliki tujuan dan rahasia tertentu, sehingga Al-Qur’an tidak menggunakan kalimat uzzi meskipun memiliki kesamaan arti, yaitu menggerakan. Hal ini dikarenakan huruf ha pada kalimat huzzi adalah huruf yang menunjukan kelembutan, sedangkan huruf alif pada kalimat uzzi menunjukan suatu yang kuat, maka hal ini mengindikasikan bahwa huzzi adalah gerakan yang ringan tetapi ada kekuatan didalamnya, sedangkan uzzi adalah gerakan yang kuat yaitu gerakan yang penuh dengan kekuatan dan keras (Al-Misri: t.t, 308), atau uzzi menunjukan gerakan yang sangat kuat dan keras (Al-Hasan: 1979, 13). Maka dengan pemilihan kalimat Wahuzzi dapat diketahui gerakan yang dilakukan Maryam A.S adalah gerakan yang ringan namun dengan kekuatan dan kesungguhan (Al-Alusi: 1415, 401).
Lebih dari itu, huzzi merupakan sebuah bukti akan kasih sayang Allah SWT kepada Maryam A.S (Zubaidi: 2019, 139) karena ia adalah perintah yang menunjukan adanya kelembutan dan kasih sayang (Zubaidi: 2019, 139). Sedangkan kalimat uzzi tidak mengindikasikan pada kelembutan dan kasih sayang, sehingga al-Qur’an tidak menggunakan kalimat ini (Al-Hasan: 1979, 14). Maka dapat disimpulkan bahwa tidak bisa suatu kata menggantikan kata yang lain, karena perubahan kata meniscayakan pergeseran makna, dan mengakibatkan ketidaksesuaian kata dengan makna yang dituju.
Adapun hal paling menakjubkan, dibalik pemilihan diksi yang sesuai dan tepat , kalimat ini memilki rahasia bagaimana pentingnya sebuah gerakan bagi ibu hamil. Hal yang diisyaratkan kepada Maryam yang sedang mengandung Nabi Isa ketika itu. Menurut ‘Abdu Daim al-Kahil bahwa gerakan adalah sebuah latihan yang harus dilakukan ibu hamil, latihan fisik dapat meningkatkan kesehatan janin dan mencegah adanya kematian, karena gerakan membantu perkembangan system saraf dan ia mengatakan bahwa peneliti modern telah menemukan bahwa detak jantung dan pernapasan bayi akan membaik apabila ibu aktif secra fisik (Al-Kahil: 2022).[1]
Baca Juga : Kontribusi Sarjana Muslim dalam Perkembangan Sains – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)
Selain itu, sungguh mengesankan bagaiaman gerakan fisik memiliki manfaat bagi persalinan dan ini merupakan pesan ilahi (Al-Kahil: 2022), gerakan fisik seperti berjalan dapat memperlancar proses kelahiran, ia berfungsi untuk mengendurkan otot-otot panggul sehingga memudahkan persalinan secara alami dan tidak mengalami rasa sakit ketika melahirkan (Smith: 2013, 44). Allah SWT memerintahkan Maryam A.S untuk menggerakan pohon kurma sebelum kelahiran Isa A.S, hal ini mengindikasikan bahwa ibu hamil mendekati kelahiran membutuhkan gerakan fisik untuk membantu persalinannya (Ar-Razi: 1420, 528). Oleh karena itu, dokter kandungan menyarankan agar ibu hamil yang mendekati kelahiran untuk melakukan beberapa latihan dan gerakan yang tepat demi memperlancar proses persalinan. Maka dengan adanya relasi antara pemilihan kalimat wahuzzi dan pembuktian sains modern menunjukan bahwa apa yang terkandung dalam kisah Maryam dalam Al-Qur’an adalah benar.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat diketahui, bahwa terdapat korelasi yang kuat antara bahasa yang dipilih oleh Al-Qur’an dengan sains pada kisah Maryam dalam Al-Qur’an, hal ini menunjukan kebenaran akan kisah Al-Qur’an, sebagai bantahan para ilmuan yang menganggap kisah al-Qur’an tidak lebih dari mitos yang tidak pernah terjadi dengan susunan kalimat dan pemilihan bahasa yang tidak sistematis. Wallahu A’lam
Daftar Pustaka
Ahmad, A.-F., Al-Khalil Bin. (2003). Kitâb al-‘Ain. Dar Kutub al-‘Ilmiah.
Al-Alamiyah, M. J. al-Madinah. (t.t). Al-I’jâz al-‘Ilmî Fî al-Qurân al-Karîm. Universitas International Madinah.
Al-Alusi, S. ad-D. M. B. ‘Abdillah al-Husaini. (1415). Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr al-Qurân al-‘Adzîm Wa as-Sab’i al-Matsânî. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Hasan, A. B. F. B. Z. A. (1979). Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Dar al-Fikr.
Al-Jurjani, ‘Abdul al-Kahir bin ‘Abdu ar-Rahman. (2008). Daraju ad-Duror Fî Tafsîri al-Ayi Wa as-Suar. Silsilatu Isadarotu Hikmah.
Al-Kahil, ‘Abdu Daim. I’jâz Fî at-Tîb diambil dari https://kaheel7.net/?p=8218 pada hari Kamis,7 Juli 2022, 14: 56.
Al-Misri, I. M. al-Afriqi. (t.t). Lisânu Arab. Dar As-Sadar.
Ar-Razi, F. (1420). Mafâtihu al-Ghaib (Vol. 21). Dar Ihyau Turost Al-‘araby.
As-Sya’rawî, M. M. (1991). Tafsîr as-Sya’rawi. Dâr Akhbâr al-Yaum.
Bâḥâziq, ‘Umar Muhammad U’mar. (1994). Uslubu al-Qurân al-Karîm. Dâr al-Ma`shûr Li at-Turâst.
Lailah, M. M. A. (2002). Al-Qurân al-Karîm min al-Mandzûr al-Istisyrâq Dirâsah Naqdiyah Tahlîlîyah. Dâr an-Nasyri Liljâmi’ât.
Noldeke, T. (2013). The History of Qur’an. Brill.
Shihab, Q. (2019). Kaidah Tafsir. Lentera Hati.
Smith, N. (2013). Al-haml. Dar al-Mualif.
Syahrur, M. (1990). Al-Kitâb Wa Al-Qurân. Al-Ahâlî Littibâ’ah Wa an-Nasyr Wa at-Tauzî’.
Yunus, B. A. S. (2007). Ma’ânî Kalimât al-Qurân al-Karîm Kalimah Kalimah. Maktabah Wathoniyah.
Zubaidi, S. (2019). Ilmu ad-Dalâlah al-Qurâniyah. Kurnia Kalam Semesta.
Zubaidi, S., & Muslih, M. (2018). Epistemologi Penafsiran Ilmiah Al-Qur’an. Dalam Kritik Epistemologi dan Model Pembacaan Kontemporer. Lesfi.
[1] ‘Abdu Daim al-Kahil, I’jâz Fî at-Tîb diambil dari https://kaheel7.net/?p=8218 pada hari Kamis,7 Juli 2022, 14: 56.
No Responses