Husna Hisaba Kholid/Peserta PKU Angkatan 16
Islam sebagai pandangan hidup (worldview) dapat mengikat seluruh turunan kebudayaan untuk selalu mengikuti kehendak Tuhan yang tercantum di dalam al-Qur’an. (M Khalid Muslih et al., 2019, hlm. 28) Meskipun al-Qur’an turun di tengah-tengah budaya Arab dan berinteraksi secara langsung dan erat dengan Islam akan tetapi, hubungan antara Islam dan kebudayaan itu bersifat atas bawah, bukan bersifat dependensi. Buktinya, beberapa kebudayaan arab tidak diterima oleh Islam.(Ismail Raji al-Faruqi, 1993, hlm. 15). Bahkan, sejarah membuktikan Islamlah yang lebih dominan dan banyak memengaruhi kebudayaan arab itu sendiri baik dalam bahasa, interaksi sosial terkhusus dalam pandangan kredo masyarakat arab.(Ismail Raji al-Faruqi, 1993, hlm. 15) Dari sini terlihat maka, kebudayaan masyarakatlah yang terikat dengan ajaran Islam.
Ironinya hubungan yang baik antara Islam dengan budaya ini diperkeruh dengan anggapan bahwa Islam hadir dipandang sebagai produk dari budaya. (Baca, Abu Zaid, 2014, hlm. 24) Padahal ada perbedaan diametris antara Islam sebagai ‘aqidah dan shari’ah dan kebudayaan yang lahir dari produk kreatif manusia. Untuk mendudukan kedua hal ini, seorang penyair mesir terkenal Syauqi Dhaif telah memberikan pandangan tentang khasaish (karakteristik) dari kebudayaan Islam itu sendiri. Dengan demikian untuk mengurai bagian kebudayaan dan Islam sebagai pandangan hidup, dalam tulisan ini akan diulas bagaimana karakteristik kebudayaan Islam menurut Syauqi Dhaif, serta dimana letak pemisah antara Islam dan budaya dalam pandangan Islam.
Telaah Kritis Arti Kebudayaan Menurut Antropolog.
Salah seorang Antropolog, Koentjaraningrat memberikan pengertian kebudayaan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”(Koentjaraningrat, 1985, hlm. 180) Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa hampir seluruh bagian dari tingkah laku manusia itu adalah bagian dari kebudayaan, karena hanya sedikit saja dari aktivitas manusia itu yang tidak dibiasakan dengan belajar. Koentjaraningrat, melanjutkan ada tujuh macam yang menjadi bagian dari kebudayaan yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.(Koentjaraningrat, 1985, hlm. 203 -204) Dari penjelasan tersebut maka, kebudayaan dapat diartikan segala aktivitas manusia dari tujuh unsur tersebut yang dilakukan manusia dengan belajar.
Dalam tujuh unsur kebudayaan itu, jika kebudayaan merupakan hasil karya manusia maka dalam pandangan hidup Islam, sistem religi yang mesti ditinjau ulang secara kritis lebih lanjut. Karena dalam kahazanah keilmuan Islam, terdapat sejumlah sistem ajaran yang secara langsung tanzīl dari Tuhan (Allah) dan sistem itu tidak boleh ada penghapusan (nasakh) ataupun penggantian (Tabdīl) yang disebut dengan Tsawabit dan ini murni dari Tuhan. Begitu pula, dalam Islam terdapat sistem ajaran yang dapat berubah sebagai produk ijtihad untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan pada bagian inilah manusia bisa mengelaborasi hal-hal yang baru dalam perkara yang bersinggungan dengan agama, meskipun tetap berada dibawah ruang lingkup yang tsawabit.(Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 1975, hlm. 330; Shalah Shawi, 2009, hlm. 55) Atas pertimbangan itu, segala bentuk dari kebudayaan manusia selama tidak bertentangan dengan yang tsawābit maka, Islam terbuka untuk menerima dengan kebudayaan manapun. Walhasil, sifat dinamis islam ini menjadikan Islam mampu mengadopsi, mengelaborasi dan membuat transformasi kredo kebudayaan masyarakat yang sesuai dengan aqidah (keyakinan) Islam.
Karakteristik Kebudayaan Islam Menurut Syauqi Dhaif
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dengan demikian Islam memiliki karakteristik kebudayaan yang khas. Syauqi Dhaif seorang sastrawan mesir menjelaskan bahwa karakteristik kebudayaan Islam itu terlahir dari asas-asas yang ditanamkan oleh Allah dan Rasulnya. Menurutnya, secara global kebudayaan Islam terbagi kepada tiga karakteristik penting, pertama Asas ‘Aqīdiyyah kedua Asas Ijtima’iyyah, dan ketiga Asas Akhlaqiyyah (Syauqi Dhaif, 1997, hlm. 3) Tiga asas ini menurutnya jika benar diterapkan dengan baik maka akan menjadi jaminan kedamaian bagi setiap bangsa sehingga, persaudaraan insaniyyah akan terjalin harmonis tanpa membedakan perbedaan kelompok, bangsa dan negara.(Syauqi Dhaif, 1997, hlm. 6)
Adapun asas kebudayaan Islam yang pertama ‘aqidiyyah bagi Syauqi Dhaif menunjukan kebudayaan Islam itu terlahir dari bimbingan wahyu sehingga, kebudayaan Islam itu bersifat rabbaniyyah. Sedangkan esensi dari aqidah islam itu sendiri adalah wahdaniyyah atau Tauhid.(Syauqi Dhaif, 1997, hlm. 3). Karakteristik khas Islam ini, diafirmasi oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai berikut, “So there is only One Reality and Truth, and all Islamic values pertain ultimately to It alone, so that to the Muslim, individually and collectively, all endeavour towards change and develop ment and progress and perfection is invariably determined by the worldview that projects the vision of the One Reality and confirms the affirmation of the same Truth.”(Al-Attas, 1993, hlm. 89) Akhirnya, Kebudayaan yang terlahir dari pandangan hidup Islam, seluruh elemennya akan menuju kepada Tuhan yang satu.
Asas kebudayaan kedua, yaitu Ijtima’iyyah. Asas ini menunjukan bahwa kebudayaan Islam yang terlahir mesti menjaga kemaslahatan manusia. Sebagaimana menurut Syauqi Dhaif, Islam memerintahkan penganutnya agar menyebarkan salam, bahkan salam ini selalu diulang dalam ibadah seorang muslim . Begitu pula kata ini menjadi salah satu bagian nama dan sifat dari Allah sendiri yaitu al-Salam.(Syauqi Dhaif, 1997, hlm. 6). Dari pertimbangan asas kedua ini maka, kebudayaan Islam harus dengan cermat melahirkan kebudayaan yang mampu melestarikan kemaslahatan umat manusia.
Baca Juga : Jabir Ibnu Hayyan: Ilmuan Kimia dalam Sejarah Islam – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)
Sedangkan karakteristik yang ketiga, adalah asas akhlaqiyyah. Asas kebudayaan ini, bagi Islam menurut Syauqi Dhaif, dijadikan sebagai landasan agar kebudayaan Islam yang tercipta di dalam masyarakat itu benar-benar memperhatikan seluruh aspek moralitas di dalam ajaran Islam.( Baca, Syauqi Dhaif, 1997, hlm. 8 – 9). Melalui asas akhlaqiyyah ini kebudayaan Islam dengan demikian tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalam ajaran Islam.
Simpulan.
Tiga asas dari karakteristik kebudayaan Islam yang digagas oleh Syauqi Dhaif menunjukan bahwa Islam tidak pernah anti terhadap peradaban ataupun kebudayaan lain. Islam dalam pengertian ini akan selalu terbuka dan bersifat akomodatif terhadap segala kebudayaan manapun selama tidak bertentangan dengan aqidah Islam dan menjamin kemaslahatan manusia serta sesuai dengan nilai-nilai moralitas Islam. Dari konstruk pemikiran demikian maka, Islam bukanlah hasil produksi budaya arab namun justru budaya arab itulah yang terpengaruh oleh pandangan hidup Islam. Hasilnya, kebudayaan manapun yang terilhami dari nafas pandangan hidup Islam maka, akan melahirkan kebudayaan yang tunduk kepada satu realitas tertinggi yaitu Tuhan (Allah).
Bibliografi
Abu-Zaid, N. H. (2014). Mafhum an-nass dirasa fi ulum al-Qur’an. al-Markaz al-Tsaqafi.
Al-Attas, M. N. (1993). Islam and secularism. International Institute of Islamic Thought and Civilization.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. (1975). Ighatsah Lahfan. Dar al-Ma’rifah.
Ismail Raji al-Faruqi. (1993). Islam dan Kebudayaan Terj: Yustiano. Mizan.
Koentjaraningrat. (1985). Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru.
M Khalid Muslih et al. (2019). Worldview Islam; Pembahasan Tentang Konsep-Konsep Penting dalam Islam. Unida Gontor Press.
Shalah Shawi. (2009). Al-Tsawabit wa al-Mutagayyirat fi Masirah al-’Amal al-Islami al-Mu’ashir. SAA.
Syauqi Dhaif. (1997). Al-Hadharah al-Islamiyyah min al-Qur’an wa as-Sunnah. Dar al-Ma’arif.
No Responses