Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam Perspektif al-Quran – Program Kaderisasi Ulama

Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam Perspektif al-Quran

Oleh: Eugenia Dhea Adeline/ peserta PKU angkatan 15

Mengelaborasi dari adanya prinsip humanisme Al-Quran terhadap disabilitas menjadi salah satu wujud dedikasi dalam eskalasi wacana disabilitas dalam kaca mata agama. Sebab diketahui bahwa wacana disabilitas masih menjadi wacana yang hangat diperbincangkan dan dikaji (interested discourse) secara eksplisit di dunia internasional.[1] Hal ini terbukti dengan serangkaian pertemuan internasional yang digelar oleh United Nation (PBB) sejak awal deklarasinya di tahun 1971 yang menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk menegakkan hak-hak kaum difabel.[2]

Dalam kontestasi politik misalnya, wacana disabilitas selalu eksis sebagai salah satu dari sekian banyak wacana yang wajib dipertanyakan kepada para calon pemangku tampuk pemerintahan tertinggi di negeri ini. Hal ini menjadi salah satu indikator bahwa wacana disabilitas adalah salah satu dari sekian banyak wacana penting yang menjadi dialog penting dalam tindakan nyata di lapangan maupun melalui penyebaran narasi-narasi positif dalam berbagai perspektif.[3]

Paradigma besar yang di bangun dalam wacana disabilitas saat ini adalah paradigma yang mengedepankan HAM (human rights), artinya penyandang disabilitas tidak lagi dipinggirkan dengan tatapan “belas kasih” semata (charity based) namun segenap hak-haknya sebagai manusia juga harus diberikan dengan prinsip egaliter. Dengan bangunan tatanan paradigma tersebut, penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai objek sebagaimana dalam paradigma terdahulu namun ditempatkan sebagai subjek partisipatif.[4]

Baca juga:Al-Quran, Peradaban, Syed Naquib Al-Attas

Prinsip Humanisme Al-Quran dalam Wacana Disabilitas

Dalam rangka menyongsong bangunan paradigma humanisme atas kaum difabel yang bermuara pada penempatannya sebagai subjek partisipatif, tentu harus ada tatanan social ethics yang jelas di masyarakat. Tatanan etika sosial itu harus dilandaskan atas semangat humanisme yang memandang setiap manusia benar-benar sebagai manusia.[5]

Salah satu ikhtiyar umat beragama dalam mendukung terwujudnya tatanan etika sosial yang humanis adalah dengan mengeksplorasi sikap-sikap humanisme yang diajarkan oleh agamanya. Maka dalam hal ini, Islam secara khusus melalui kitab sucinya Al-Quran memberikan beberapa petunjuk dalam mewujudkan semangat tatanan etika sosial yang humanis.

Baca juga:Kebebasan dalam Islam – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)

Terdapat ayat-ayat Al-Quran yang memberikan pesan baik secara tersurat maupun tersirat mengenai pentingnya bersikap humanis di kehidupan sosial. Di antara pengajaran Al-Quran tersebut jika dikaitkan dengan wacana disabilitas terepresentasikan dalam beberapa ayat yang akan diuraikan berikut ini: Surat al-Hujurat [49]: 11, artinya:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Dalam ayat ini Al-Quran menegaskan bahwa tidak dibenarkan jika sesama manusia saling merendahkan. Sebab penglihatan manusia tidak memiliki kemampuan untuk menilai manusia lainnya. Maka sikap merasa “lebih baik” tidak ada ada dalam kamus ajaran Islam dan sudah semestinya dihindari oleh umat Islam.

Dalam konteks wacana disabilitas, ayat ini menegaskan bahwa sudah semestinya manusia melihat manusia lainnya dengan kacamata kemanusiaan melihatnya benar-benar sebagai manusia. Tanpa sengaja memberi pangkasan yang dianggapnya sebagai kekurangan (karena nampak oleh penglihatan) sebab adanya keinginan untuk terlihat lebih baik.

Maka dalam konteks wacana disabilitas, ayat ini seakan mengisyaratkan bahwa manusia, baik yang dikategorikan difabel ataupun tidak, sejatinya tidak ada yang boleh merasa lebih baik. Sebab perbedaan yang tampak itu hakikatnya merupakan bentuk kekuasaan Allah yang harusnya dijadikan bahan oleh manusia untuk semakin merasa kecil dan tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan. Perbedaan itu juga tidak menentukan hakikat nilai manusia yang sesungguhnya. Termaktub di dalam Surat al-Nur [24]: 61, artinya:

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri.”

Ayat ini merupakan salah satu ayat yang berbicara secara lugas mengenai sikap seorang muslim terhadap kaum difabel. Di mana kalimat (…اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ) “makan bersama di rumahmu dst.” merupakan isyarat bahwa hendaklah umat Islam memperlakukan kaum difabel dari latar belakang apapun dengan mengedepankan rasa kemanusiaan.

Artinya tidak boleh ada rasa ingin menjauhi atau bahkan meminggirkan mereka. Sebagai umat beragama yang mengedepankan adab dalam berkehidupan, seharusnya umat Islam memperlakukan mereka dengan penuh iba dan merangkul serta mengajak untuk menjalani kehidupan dengan baik layaknya manusia pada umumnya.

Uraian kedua ayat merupakan salah satu upaya menggaungkan wacana sikap ideal dalam memperlakukan kaum difabel secara tatanan etis. Serta melanjutkan estafet semangat dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam madani (Islamic civil society) yang menerapkan prinsip moral Al-Quran di kehidupan sosial.

Baca juga: Al-Qur’an Sebagai Sumber Embrional Sains – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)

 

[1] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an vol 12

(Jakarta : Lentera Hati, 2002), 535-536.

[2] Aini Mahabbati, Kebijakan, “Implementasi, dan Isu Strategis Pendidikan Bagi Individu

Berkebutuhan Khusus”, Jurnal Pendidikan Islam, vol III, No 1 (Juni 2014/1435), 32

[3] Convention on the Rights of the Child dikutip oleh Pranoto Iskandar, Op. Cit, Hlm. 590

[4] Anna Lawson dalam Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional, IMR Press, Cianjur, 2013, Hlm. 580-581.

[5]Hak warga negara di artikan sebagai pemberian dari negara sedangkan HAM merupakan hak yang sifatnya universal dikarenakan kodrat manusia, bukan sebuah pemberian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *