Oleh: Muhammad Kholid
pku.unida.gontor.ac.id- “ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti jalan mereka” QS. al- Baqarah: 120. Ayat ini dikategorikan oleh Muhammad Zain (Kepala LKKMI Kemenag) sebagai ayat sosilogis bukan ayat teologis seperti yang dimuat di website Indonesiainside.id (07/08/2019)
Apa maksud dari ayat teologis dan ayat sosiologis ini ? Maksud dari ayat teologis menurut Muhammad Zain adalah hal-hal yang sifatnya mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama terutama berdasar pada kitab suci. Sedangkan ayat sosiologis adalah ayat tentang hubungan sesama manusia, proses sosial dan perubahannya.
baca juga: Hermeneutika (Pisau Orientalis dalam Studi Al-Qur’an)
Menafsirkan QS. al-Baqarah: 120 sebagai ayat teologis, jelas Muhammad Zain, akan berakibat umat Islam tidak mau bekerja sama sama sekali dengan kalangan selain Islam. Jika dimaknai seperti itu maka hubungan antar umat beragama tidak akan terwujud di negara Indonesia yang plural ini. Umat Islam akan perang terus dengan Yahudi dan Nasrani.
Maka perlu, menurut Zain, melihat konteks turunnya ayat tersebut. Ayat itu menurutnya turun di Madinah untuk menjelaskan bahwa pusat ekonomi dan kekuasaan waktu itu dikuasai oleh kalangan Yahudi dan Nasrani. Dikarenakan setelah Islam mendominasi berbagai sektor di Madinah, maka orang-orang Yahudi dan Nasrani cemburu kepada Islam sehingga turunlah ayat ini.
Jadi, kalau mau disimpulkan pendapat Muhammad Zain tadi, ayat teologis adalah ayat yang wajib ditaati dan bersifat tetap, tidak ada tawar menawar. Sedangkan ayat sosiologis adalah ayat yang bisa berubah sesuai dengan kondisi sosial masyarakat setempat. Penjelasan ini mengandung kesalahan yang cukup serius, khusunya dalam menafsiri ayat al-Qur’an.
Pertama, penafsiran ayat al-qur’an berlandaskan pada sosio-historis adalah metode hermenutika yang digunakan oleh orang barat untuk menafsirkan Bible. Metode ini telah diaplikasikan oleh para orientalis ke dalam al-Qur’an seperti Abraham Geiger, Gustav Weil, Theodor Noldeke, Arthur Jeffrey. Kemudian diikuti oleh cendikiawan muslim liberal seperti Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd.
Penafsiran hermeneutika terhadap nash al-Qur’an tentu tidak sesuai, karena al-Qur’an tidak sama dengan teks biasa lainnya. Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi sedangkan dalam metode haremenutika, al-Qur’an dipandang sebagai muntaj tsaqafi (produk budaya).
baca juga: Penghinaan Terhadap Al-Quran
Watak dasar Hermeneutika adalah membaca dan memahami agama/kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa, dan budaya yang terbatas. Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode hermenutika adalah mengeksploitasi temat-tema ulumul Qur’an yang berkaitan dengan konteks tempat & waktu seperti konsep asbab nuzul, nasikh-mansukh, makki-madani dan lain sebagainya untuk digunakan sebagai pembenaran terhadap studi kritis-historis, tujuan akhirnya adalah menunjukkan kesan kontradiksi antara aspek normatifis dan historisitas al-Qur’an.
Dalam Islam, metode untuk memahami al-Qur’an disebut dengan tafsir dan ta’wil Dalam tafsir, sumber epistemologi adalah wahyu al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an terikat dengan apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Jadi, akal tidak bisa dibiarkan lepas landas, melanglang buana kemana-mana, sebagaimana yang terjadi di dalam hermenutika. Ulama menetapkan kaedah dalam memahami nash al-Qur’an yakni al-‘ibratu biumumi al-lafdz la bikhusus al-sabab . Kaum liberal yang tidak setuju dengan kaedah itu, membaliknya menjadi al-ibratu bikhusus al-sabab la bi umum al-lafdz.
Kedua, para ulama telah menjelaskan maksud dari ayat dalam surah al-Baqarah : 120. Tidak ada satupun dari mereka yang menyimpulkan bahwa ayat itu bisa dinasakh atau tidak diamalakan jika tidah sesuai dengan kondisi sosial masyarakat setempat.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut, menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi – juga rang-orang Nasrani itu – selamanya tidak akan senang kepadamu (umat Islam). Karena itu, tinggalkan upaya untuk membuat mereka senang dan suka kepadamu. Sekarang hadapkanlah dirimu untuk memohon ridha Allah karena engkau telah mengajak mereka untuk mengikuti perkara hak yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu.
baca juga: Al Quran dan Masalah keotentikannya
Imam Baghawi memaparkan asbabun nuzul dari ayat itu bahwa orang-orang Yahudi meminta Nabi Muhammad SAW untuk berdamai dan itulah yang mereka harapkan dengan dalih apabila mereka diberi tenggang waktu untuk berdamai, mereka akan mengikuti Nabi, maka turunlah ayat ini. Maknanya bahwa meskipun Nabi Muhammad berdamai dengan mereka, mereka tidak akan rela terhadap perjanjian kesepakatan itu, mereka hanya meminta berdamai sebagai dalih agar umat Islam mengikuti ajaran mereka. Menurut Ibnu Abbas, ayat ini berkenaan dengan qiblah. Ketika Yahudi Madinah dan Nasrani Najran meminta Nabi Muhammad SAW untuk sholat menghadap qiblat mereka (baitul maqdis). Ketika Allah menurunkan peritah untuk mengahadap ke ka’bah mereka akhirnya putus asa.
Imam al-Qurtubhi membagi penjelasan ayat itu ke dalam dua bagian. Pertama, ayat itu memaparkan kepada Nabi Muhamamad SAW bahwa pendapat yang disampaikan oleh Yahudi dan Nasrani itu bukan agar mereka beriman, tetapi agar umat Islam mengikuti agama mereka. Karena meskipun beliau memenuhi segala apa yang diminta oleh orang Yahudi dan Nasrani mereka tidak akan ridho’, yang mereka ridhoi adalah ketika umat islam meninggalkan agam islam dan mengikuti mereka. Kedua, sekelompok ulama seperti Imam Abu Hanifah, As-Syafi’ie, Abu Daud, Ahmad bin Hambal, berkeyakinan atas landasan ayat ini bahwa kekafiran itu sebenarnya adalah satu millah (agama), yaitu agama kekekafiran.
Diantara ulama tafsir diatas tidak ada yang berbeda pendapat tentang hakekat perilaku umat Yahudi dan Nasrani dalam bersikap terhadap umat Islam bahwa mereka tidak akan rela hingga umat islam masuk ke agama mereka. Hal ini masih relevan hingga saat ini. Bukti-buktinya sangat mudah ditemukan, bagaimana orang Kristen bersama para colonialist barat ketika menjajah Indonesia membawa misi Gold, Gospel, dan Glory.
Selain menjajah dalam aspek ekonomi dan politik, mereka juga melakukan kristenisasi terhadap masyarakat Indonesia. Hingga hari ini, upaya kristenisasi itu masih terjadi, modusnyapun berbeda-beda, yang paling familiar adalah membagikan sembako-sembako kepada umat Islam yang miskin diiringi dengan membawa pesan-pesan untuk masuk kedalam agama kristen
Ketiga, Muhammz Zain berpendapat jika kita mengikuti penafsiran teologis ulama-ulama tafsir, umat Islam akan terus menerus berperang dengan umat Yahudi dan Nasrani. Pernyataan ini tidak masuk akal. Di dalam ajaran Islam tentu ada rambu-rambu ketika mau berperang, dan jikalau memang ada perang itu lebih ke self-defence terhadap ancaman serangan dari pihak musuh. Tidak ujug-ujug berperang dengan landasan surah al-Baqarah : 120 ini. Dari sejak era Nabi Muhammad hingga sekarang, tidak ada ulama ahlussunnah waljam’ah yang memerintahkan kita untuk berperang dengan landasan ayat tersebut.
baca juga: “Prolegomena”
Penafsiran secara sosiologis, tentu tidak sesuai dengan ilmu-ilmu tafsir dan takwil. Kita tidak mengenal penafsiran teologis sosilogis kecuali dari mulut kaum sekuler liberal. Dalam tafsir dan takwil, penafsiran ayat itu dilihat dari status nashnya, ada yang qath’i ada yang dzanni, ada yang muhkamat ada yang mutasyabihat. Penafsiran secara sosiologis ini tidak mempertimbangkan klarifikasi-klarifikasi tersebut. Meskipun qath’i atau muhkamat jika tidak sesuai dengan selera mereka, maka akan ditafsirkan secara sosiologis.
Zain juga beralasan penafsiran sosilogis untuk menjaga toleransi. Pendapat ini seakan-akan menyatakan bahwa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Ulama salafusholeh tidak toleran karena menafsirkan ayat al-Baqoroh secara teologis. Tentu ini berlawanan dengan fakta sejarah. Rasulullah meskipun telah menjadi pemimpin di Madinah, beliau tetap bermuamalah dengan orang Yahudi, Menjalin hubungan dagang dengan kabilah-kabilah Yahudi, Beliau mempercayakan pengolahan lading-ladang beliau di Negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan ketentuan bagi hasil. Bahkan pada akhir hayatnya, Nabi Muhammad membeli beberapa takar gandum dari seorang pedagang Yahudi. Karena tidak mampu membayar, akhirnya menggadaikan perisai perangnya kepada pedagang Yahudi tersebut. Dan masih banyak lagi cerita-cerita bukti toleransi dalam umat Islam.
Toleransi dalam Islam memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri, tidak sampai merambah keranah aqidah dan ibadah, tapi hanya dalam ranah hubungan sosial. Berbeda dengan toleransi yang dipromosikan oleh orang-orang liberal yang mengkamapnyekan toleransi kebablasan, seperti kawin lintas agama, do’a antar agama, hingga pluralisme agama. Kalau mau bijak, harusnya Zain menujukan anjuran toleransi itu ke umat Yahudi di Israel yang tidak toleransi terhadap umat Islam Palestina yang dijajah mereka, atau terhadap Barat Amerika yang ikut berkontribusi besar dalam memporak-porandakan negara-negara Islam di Timur Tengah. Wallahu a’lam bisshowab.[]
Penulis adalah Peserta Program Kaderisasi Ulama XIII UNIDA Gontor, dan alumni IAI DALWA Pasuruan.
ed. admin pku
No Responses