{"id":1293,"date":"2019-08-22T01:29:50","date_gmt":"2019-08-22T01:29:50","guid":{"rendered":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/?p=1293"},"modified":"2019-08-22T05:42:30","modified_gmt":"2019-08-22T05:42:30","slug":"kemerdekaan-dalam-perspektif-islam","status":"publish","type":"post","link":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/kemerdekaan-dalam-perspektif-islam\/","title":{"rendered":"Kemerdekaan Dalam Perspektif Islam"},"content":{"rendered":"\n

Oleh: Agus Riyadi, S.Pd.I, M.Pd.<\/strong><\/span><\/p>\n\n\n\n

Dalam perspektif Islam, kemerdekaan sejatinya adalah bebas untuk bertindak. Hal ini dapat dipahami karena manusia adalah makhluk yang diberikan otonomi dan kepercayaan sebagai khal\u012bfah fil ardh<\/em>, pemimpin di muka bumi. Namun, bukan berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal),<\/em> tetapi kebebasan atau kemerdekaan itu dibatasi dengan hukum-hukum dalam syariat Islam. Batasan tersebut bisa ditemukan dalam al-Quran sebagai sumber utama hukum Islam dan terdapat pula dalam hadits yang menjadi sumber hukum Islam kedua. Sehingga kemerdekaan itu mempunyai batasan dan menjadi petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan di dunia sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Definisi Kemerdekaan<\/strong><\/span><\/p>\n\n\n\n

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologi merdeka berarti bebas. Kemerdekaan artinya kebebasan. Sedangkan secara terminologi, Merdeka artinya adalah bebas dari segala penjajah dan penjajahan atau penghambaan. Kemerdekaan adalah suatu keadaan di mana seseorang atau negara bisa berdiri sendiri, bebas dan tidak terjajah.<\/span><\/p>\n\n\n\n

BACA JUGA: Tumbuhkan Jiwa Nasionalisme; UNIDA Gontor Gelar Upacara HUT ke-74 RI<\/a> <\/h4>\n\n\n\n

Sedangkan istilah kemerdekaan dalam bahasa Arab disebut \u201eal-Istiql\u0101l<\/em>\u201c. Hari Kemerdekaan disebut Id al-Istiql\u0101l<\/em>. Hal ini merupakan bentuk penafsiran dari: \u0627\u0644\u062a\u062d\u0631\u0631 \u0648\u0627\u0644\u062e\u0644\u0627\u0635 \u0645\u0646 \u0627\u0644\u0642\u064a\u062f \u0648\u0627\u0644\u0633\u064a\u0637\u0631\u0629 \u0627\u0644\u0627\u062c\u0646\u0628\u064a\u0629 \u201dal-Taharrur wa al-Khal\u0101sh min al-Qayd wa al-Saytharah al-Ajnabiyyah<\/em>\u201d artinya bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain. Dalam istilah lain disebutkan: \u0627\u0644\u0642\u062f\u0631\u0629 \u0639\u0644\u0649 \u062a\u0646\u0641\u064a\u0630 \u0645\u0639 \u0639\u062f\u0645 \u0627\u0644\u0642\u0633\u0631 \u0648\u0627\u0644\u0639\u0646\u0641 \u0645\u0646 \u0627\u0644\u062e\u0627\u0631\u062c artinya Kemampuan melaktualisasikan diri tanpa adanya segala bentuk pemaksaan dan kekerasan dari luar dirinya.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Dengan kata lain kemerdekaan adalah bebas dari segala bentuk penindasan bangsa lain. Kata lain untuk makna ini adalah \u201cAl-Hurriyyah<\/em>\u201c. Kata ini biasa diterjemahkan sebagai kebebasan. Dari kata ini terbentuk kata al-Tahrir<\/em> yang berarti pembebasan. Tahrir al-Mar\u2018ah<\/em> berarti pembebasan perempuan. Orang yang bebas\/merdeka disebut al-hurr<\/em> lawan dari al-\u2018abd<\/em> (budak). Penggunaan kata kebebasan dalam konteks kaum muslimin hari ini tampaknya kurang menyenangkan. Sebagian mereka memandangnya dengan sinis. Ini boleh jadi karena kebebasan menjadi milik khas Barat. Padahal al-Qur\u2018an selalu menyebutkan kata ini, dan bukan kata al-Istiql\u0101l<\/em>.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Dalam teks-teks klasik al-Hurriyyah<\/em>; kebebasan amatlah populer dan terpuji. Akan tetapi makna-makna sebagaimana disebutkan di atas masih amatlah sederhana dan formalistic, masih semi merdeka (Syibh al-Hurriyyah\/Istiqlal<\/em>). Kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 barulah gerbang dan pintu yang terbuka.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Kemerdekaan atau Kebebasan secara maknawi sejatinya adalah situasi batin yang terlepas dari segala rasa yang menghimpit, yang menekan dan yang menderitakan jiwa, pikiran dan gerak manusia baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari luar. Ada juga yang berpendapat bahwasannya Kemerdekaan\/Kebebasan adalah suasana hati yang damai, yang tenang terbukanya kehendak-kehendak dan harapan-harapan yang manis manusia.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Kemerdekaan dalam al-Qur\u2019an<\/strong><\/span><\/p>\n\n\n\n

Terdapat ayat-ayat al-Qur\u2019an yang berbicara tentang kemerdekaan. Pertama<\/em><\/strong>, makna kemerdekaan dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim ketika ia membebaskan dirinya dari orientasi asasi yang keliru dalam kehidupan manusia. Dalam Q.S al-An\u2019am Ayat 76-79 dikisahkan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan. Pencarian spiritual tersebut merupakan upaya Ibrahim dalam membebaskan hidupnya dari orientasi hidup yang diyakininya keliru, namun hidup subur dalam masyarakatnya. Seperti diketahui bersama bahwasannya masyarakat Ibrahim saat itu menyembah berhala. Bagi Ibrahim, penyembahan terhadap berhala merupakan kesalahan besar. Sebab manusia telah melakukan penghambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia.<\/span><\/p>\n\n\n\n

BACA JUGA: Pentingnya Islamic Worldview dalam Tantangan Dakwah Kontemporer <\/a><\/h4>\n\n\n\n

Bentuk penghambaan yang menjatuhkan harkat-martabat manusia seperti itu juga terjadi pada era modern. Penghambaan terhadap materialisme dan hedonisme telah mengantarkan manusia modern untuk melakukan korupsi tanpa perasaan bersalah, mengorbankan nyawa-nyawa tak berdosa, menghalalkan berbagai cara untuk meraih kursi dan posisi, dan seterusnya.<\/span>
Penghambaan-penghambaan yang demikian bukan hanya melukai harkat-martabat manusia, namun juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang hakikatnya menjadi tujuan dari proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 72 tahun yang lalu.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Kedua<\/em><\/strong>, makna kemerdekaan juga dapat dipetik dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejaman rezim Firaun terhadap bangsa Israel dikisahkan dalam berbagai ayat Alquran. Rezim Firaun merupakan representasi komunitas yang menyombongkan diri dan sok berkuasa di muka bumi (mustakbirun fi al-ardh<\/em>).<\/span><\/p>\n\n\n\n

Keangkuhan rezim penguasa ini membuat mereka tak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Israel dan menistakan kaum perempuannya. Keangkuhan inilah yang mendorong Musa tergerak memimpin bangsanya untuk membebaskan diri dari penindasan, dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat (QS Al-A\u2019raaf:127, Al-Baqarah: 49, dan Ibrahim: 6).<\/span><\/p>\n\n\n\n

Mengakhiri Keangkuhan seperti halnya kisah sukses Nabi Musa, Proklamasi 17 Agustus 1945 hakikatnya juga merupakan momen yang mengakhiri episode keangkuhan dan penindasan rezim kolonial. Sebuah keangkuhan yang membuat bangsa kita miskin dan terhina selama ratusan tahun. Namun jangan lupa, berakhirnya keangkuhan dan penindasan rezim kolonial tidak serta merta membebaskan rakyat Indonesia dari keangkuhan dan penindasan rezim lain dalam bentuk yang berbeda.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Tugas terberat dari sebuah bangsa merdeka sesungguhnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan dirinya sebagai bangsa merdeka, serta bebas dari hegemoni internal dan eksternal yang menindas. Merdeka dari hegemoni penindasan internal berarti bebas dari penguasa-penguasa pribumi yang bertindak dan bertingkah laku laksana penjajah asing.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Kita memerlukan pemerintahan yang sayang dan cinta kepada rakyatnya sendiri. Tidak hanya cinta sebatas bibir, namun juga mencintai dan mengayomi dalam bentuk dan tindakan nyata. Merdeka dari hegemoni eksternal artinya bebas dari pengaruh dan tekanan asing (terutama di bidang politik, ekonomi, dan budaya). Bangsa yang merdeka, namun di bawah tekanan politik negara lain, sesungguhnya bukan bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka, tapi menyerahkan pengelolaan sumber daya alamnya kepada pihak asing tanpa share yang adil, bukan pula bangsa yang merdeka.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Alhasil, sebuah bangsa yang merdeka tetapi sangat inferior terhadap identitas budaya bangsa lain, maka sejatinya bangsa tersebut belumlah dikatakan merdeka secara utuh. Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia haruslah kemerdekaan yang holistik dan integral dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Ketiga<\/em><\/strong>, kisah sukses Nabi Muhammad dalam mengemban misi profetiknya di muka bumi (QS Al-Maa\u2019idah:3) menjadi sumber ilham yang tak pernah habis bagi bangsa Indonesia untuk memaknai kemerdekaan secara lebih holistik dan integral. Ketika diutus 14 abad silam, Nabi Muhammad menghadapi sebuah masyarakat yang mengalami tiga penjajahan sekaligus: disorientasi hidup, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Disorientasi hidup diekspresikan dalam penyembahan patung oleh masyarakat Arab Quraisy<\/em>. Rasulullah berjuang keras mengajarkan kepada umat manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan \u2018\u2019tuhan-tuhan\u2019\u2019 yang menurunkan harkat dan derajat manusia (QS Luqman: 13; Yusuf: 108; Adz-Dzaariyaat: 56; Al-Jumu\u2019ah: 2).<\/span><\/p>\n\n\n\n

Penindasan ekonomi itu dilukiskan al-Quran sebagai sesuatu yang membuat kekayaan hanya berputar pada kelompok-kelompok tertentu saja (QS Al-Hasyr: 7). Rasulullah mengkritik orang-orang yang mengumpulkan dan menghitung-hitung harta tanpa memedulikan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi (QS Al-Humazah: 1-4; Al-Maa\u2019uun: 2-3).<\/span><\/p>\n\n\n\n

Rasulullah mengkampanyekan pembebasan budak, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan kesederajatan bangsa-bangsa. Dalam khutbah terakhirnya di Arafah, saat haji wada\u00ed, beliau menegaskan bahwa tak ada perbedaan antara hitam dan putih, antara Arab dan non-Arab. Semuanya sama di mata Tuhan. Tidak ada celah yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya, kecuali tingkat ketakwaan mereka kepada Tuhan-Nya (QS Al-Hujuraat:13).<\/span><\/p>\n\n\n\n

Alangkah indahnya jika bangsa Indonesia mampu memaknai kemerdekaannya seperti yang disyariatkan al-Quran. Rakyat merasakan kemerdekaan ekonominya dan meraih kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi penghisapan ekonomi, baik oleh oknum pribumi maupun pihak asing. Seluruh warganegara Indonesia sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Tidak ada lagi tawar menawar hukum dan perlakuan istimewa bagi kaum berduit dalam proses peradilan. Bagi kelompok difabel, tak ada lagi perbedaan untuk memeroleh akses ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Islam dan Kemerdekaan<\/strong><\/span><\/p>\n\n\n\n

Manusia menurut Islam adalah makhluk yang merdeka\/bebas sejak ia ada. Ini di satu sisi. Pada sisi lain ia adalah hamba-Nya, karena dia diciptakan dan Dialah Penciptanya. Manusia adalah makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya dan adalah hamba ketika berada di hadapan Tuhan, Penciptanya. Dalam bahasa agama manusia disebut Abd Allah. Jadi, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan. Manusia yang memperbudak manusia lain sama dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Esa.<\/span><\/p>\n\n\n\n

BACA JUGA: Maraknya Fanatisme Madzhab Tertentu di Masyarakat Pedesaan<\/a> <\/h4>\n\n\n\n

Nabi Muhammad dan para Nabi yang lain adalah para utusan Tuhan. Mereka ditugaskan membawa misi Tauhid ini, yang tidak lain hanya bermakna memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lain. Al-Qur\u2019an menegaskan: \u201c(Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin Tuhan mereka\u201d. (Q.S. Ibrahim: 1).<\/span><\/p>\n\n\n\n

Mengeluarkan adalah membebaskan. Kegelapan di sini bermakna, kekafiran, kezaliman, kesesatan dan kebodohan. Cahaya adalah keimanan kepada Tuhan, keadilan, jalan lurus dan Ilmu pengetahuan. Ini semjua merupakan ajaran paling inti dari Islam dan setiap agama yang dibawa para nabi, utusan Tuhan dan para pembawa misi kemanusian yang lain. Karena ia merupakan refleksi dan aksi dari pernyataan Ke-Maha-Esa-an Tuhan.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Kemerdekaan manusia dalam Islam telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya dan oleh karena itu tidak seorangpun dibenarkan memperbudaknya atas dasar kekuasaan apapun. Keyakinan Islam ini dipraktikkan Nabi melalui perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistem perbudakan melalui segala cara yang mungkin.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Diinspirasi oleh tindakan Nabi ini Umar bin Khattab, khalifah kaum muslim ke dua, kemudian mengembangkannya melalui tindakan pembebasan penzaliman manusia atas manusia yang lain. Ketika Abdullah, anak Amr bin Ash, Gubernur Mesir, menganiaya seorang petani desa yang miskin, Umar bin Khattab segera memanggil anak sang Gubernur tersebut. Kepadanya Umar mengatakan: \u201csejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka\u201c. Umar lalu mempersilakan si petani miskin tersebut mengambil haknya yang diperlukan terhadap anak pejabat tinggi negara itu.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Sikap Umar ini memperlihatkan kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Dia memperlakukan semua orang yang berada dalam kekuasaannya. Umar ingin menunjukkan bahwa di depan hukum, setiap orang mempunyai hak untuk tidak dihakimi dan dizalimi hanya karena kedudukan sosialnya yang dianggap rendah.<\/span><\/p>\n\n\n\n

Perbedaan status sosial-ekonomi, dalam pandangannya tidak boleh membuat orang yang tak beruntung tidak memperoleh haknya. Sebaliknya orang dengan status sosial beruntung, tidak boleh dibiarkan merampas hak orang lain seenaknya dan dibebaskan dari tindakan hukum. Hal yang terkhir ini pernah disampaikan Nabi: \u201cAndaikata Fatimah, anakku, mencuri, aku pasti akan menghukumnya\u201d. Wallahu a\u2019lam.<\/em>[]<\/span><\/p>\n\n\n\n

Penulis adalah Alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU IX) Unida Gontor, dan Kaprodi Bahasa dan Sastra Arab Sekolah Tinggi Ilmu Adab dan Budaya Islam (STIABI) Riyadlul Ulum- Condong.<\/span>
Ed. Admin pku<\/span><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Oleh: Agus Riyadi, S.Pd.I, M.Pd. Dalam perspektif Islam, kemerdekaan sejatinya adalah bebas untuk bertindak. Hal ini dapat dipahami karena manusia<\/p>\n","protected":false},"author":2,"featured_media":1294,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[3,9],"tags":[150,182,115,107,79,113,181],"_links":{"self":[{"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1293"}],"collection":[{"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/2"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=1293"}],"version-history":[{"count":4,"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1293\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":1299,"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1293\/revisions\/1299"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/1294"}],"wp:attachment":[{"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=1293"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=1293"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"http:\/\/pku.unida.gontor.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=1293"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}