Resensi Oleh : Yongki Sutoyo
Pendahuluan
Para pengkaji filsafat Islam, terutama orientalis Barat mengira, bahwa tradisi filsafat Islam telah mati pasca wafatnya Ibnu Rusyd. Namun, klaim semacam itu jelas keliru dan telah dibantah oleh pengkaji Filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd seperti Henry Corbin, Seyyed Hosein Nasr, dan Hossein Ziai. Salah satu tokoh penting yang menjadi objek kajian Henry Corbin, Seyyed Hosein Nasr, dan Hossein Ziai ialah Suhrawardi. Suhrawardi adalah pendiri mazhab Iluminasi yang dianggap melanjutkan tradisi Filsafat Islam pasca Ibn Rusyd.
Suhrawardi merupakan seorang filsuf yang memiliki pengaruh sangat penting dalam perkembangan filsafat Islam. Teori iluminasi (isyraqi) yang merupakan buah karya Suhrawardi telah memberikan pandangan baru dalam khazanah pengembangan filsafat Islam yang sejak sebelumnya telah di dominasi oleh aliran Paripatetisme. Dalam karya-karyanya, term ilmuniasi atau isyraqi, sering sekali muncul bahkan dapat dikatakan dominan—sebagai mana judul kitab yang akan di bahas di sini, tulis juga menggunakan kata itu; Hikmah Al-Isyraq. Menurut Hossein Ziai, usaha Suhrawardi itu bertujuan untuk membedakan pendekatan filosofisnya dari kaum paripatetis.[1]
Biografi Singkat Suhrawardi
Syihab Al-Din Yahya ibn Habasyi Ibn Amirak Abu Al-Futuh Suhrawardi, atau lebih dikenal dengan Syihab Al-Din Suhrawardi, merupakan Guru Ilmuninasi (Syaikh Al-Isyraq), sebuah sebutan bagi posisinya sebagai pendiri mazhab baru yang berbeda dengan mazhab Paripatetik.[2] Suhrawardi dilahirkan di Suhrawad sekitar tahun 550 H, dan di bunuh di Halb (Aleppo), atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi, tahun 588 H. Karena itulah dia digelari al-Maqtul (yang dibunuh), sebagai pembedaan dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu al-Najid al-Suhrawardi (meniggal tahun 563 H) dan Abu Hafsh Syihabuddin al-Suhrawardi al-baghdadi (meniggal tahun 632 H), penyusun kitab Awarif al-ma’arif.[3]
Baca Juga :Orientalis dan Diabolisme Pemikiran
Suhrawardi belajar filsafat dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili di Maraghah, belajar sekelas dengan Fakhruddin al-Razi. Kemudian ia pergi ke kota Isfahan untuk belajar logika dan memperdalam filsafat kepada Fakhr al-Din al-Mardini dan kepada al-Qari al-Farsi mengkaji kitab karangan Ibn Sahlan al-Sawi. Di samping itu, ia juga merantau ke Persi, Anatolia, Damaskus, dan Siria untuk bergabung dengan para sufi untuk belajar tasawuf serta hidup secara asketis.[4]
Selanjutnya Ia pergi ke kota Halb (Aleppo) dan belajar kepada al-Syafir Iftikharuddin. Di kota ini ia mulai terkenal dan akhirnya membuat iri para fuqaha’ yang lain, sehingga mereka mengecam dan melaporkannya kepada penguasa kota Halb, Sultan al-Malik al-Dzahir al-Ghani putra Shalah al-Din al-Ayyubi. Sang pangeran kemudian melangsungkan suatu sidang yang dihadiri para fuqoha’ dmetodenya dari perenungan—dalam arti kontemplasi raional, tetapi dengan cara lain, dan setelah itu dia berupaya memberikan bukti rasional untuk menjelaskan metodennya.[5]
Perhatian mendasar dari kritik Suhrawardi terhadap kaum Paripatetik adalah untuk mencapai penyederhanaan kompleksitas dari logika Aristotelian. Ini karena dia mengkritik ahli logika Peripatetik (terutama Ibnu Sina) yang menggunakan logika Aristotelian untuk sampai pada apa yang mereka sebut sebagai kebenaran metafisik dengan metode yang tidak tepat. Suhrawardi secara efektif mengatakan bahwa metode tersebut sama dengan obskurantisme.[6] Sebagaimana ditegaskan oleh John Walbridge:
“Perlakuan logika dalam karya-karya mazhab paripatetis tidak jauh dari menjadi parodi logika tradisional…. Suhrawardi memang mengembara dari neologismenya yang sederhana, kembali ke terminologi logis standar yang ia pelajari di mana sebagian pernyataan-pernyataannya dapat ditelusuri pada karya Al-Isharat Ibnu Sina. Tetapi ia telah menegaskan: kasus sederhana dalam logika sudah jelas, dan siapa pun yang cerdas dapat mengurangi kasus yang rumit menjadi yang sederhana dengan menggunakan akal sehatnya.”[7]
Bagi Suhrawardi, untuk sampai pada kebenaran metafisik, metode rasional-diskursif, sebagai yang digunakan oleh kaum Paripatetik, akan mengalami kecacatan. Ini karena kebenaran metafisik berada diluar jangkauan rasio. Ia hanya bisa diperoleh dengan, pertama-tama melakukan upaya penyadaran diri. Sebab bagi Suhrawardi pengetahuan hakiki tentang seuatu—dalam hal ini kebenaran metafisik—baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya. Kemudian setelah itu, subjek yang telah menyadari tentang ke-diri-annya itu dapat menjalin hubungan langsung dengan objek pengetahuan. Dengan demikian baik subjek maupun objek pengetahuan diyaratkan harus sama-sama hadir.[8] Dari sini, apa yang disebut oleh kaum Paripatetis sebagai kebenaran metafisik itu baru dapat diperoleh.
Metode perolehan pengetahuan ala Suhrawardi yang mensyaratkan kehadiran subjek dan objek pengetahuan didasarkan pada uraiannya tentang Cahaya dan Herarkinya. Bagi Suhrawardi, pengetahuan bukanlah sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil ke cahaya yang bersifat akali yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.[9] Karena itu, menurut madzhab isyraqi, pengetahuan diperoleh melalui penyinaran langsung dari substansi cahaya atau Nur al-Anwar.[10] Karena memperoleh pengetahuan adalah juga memperoleh kebahagiaan, maka setiap hirarki cahaya akan berusaha menuju dan mendekati Sumber Cahaya. Proses ini digambarkan oleh Netton sebagai hubungan hirarki Cahaya yang lebih rendah yang menunjukkan kerinduan pada Cahaya yang lebih tinggi, sebuah proses di mana “semua hal ingin kembali kepada Sumber Cahaya.”[11]
Tema ini, tentu saja, dianggap terlalu romantis[12] oleh kaum materialis. Namun Suhrawardi telah memberikan format yang rasional untuk tema-temanya dalam Hikmat al-Ishraq, dan menegaskan bahwa teks tersebut tidak dimaksudkan untuk para sarjana yang tidak memiliki orientasi mistik-teosofis. Sebagaimana yang ia sampaikan:
“Kami hanya mengusulkan untuk membahas buku ini dan simbol-simbolnya dengan mereka yang secara serius terlibat dalam upaya atau pencarian mistik-teosofis…. Siapa pun yang hanya ingin mempelajari pemikiran rasional diskursif dapat mengikuti jalur Peripatetik.”[13]
Ini karena, inti ajaran falsafat iluminasi (Isyraqi) adalah cahaya, dari sifat dan penyebaran cahaya. Tuhan adalah Cahaya yang disebut Suhrawardi sebagai Nur al-Anwar; Cahaya sebagai penggerak utama alam semesta, sedangkan alam semesta merupakan sebuah proses penyinaran raksasa, di mana semua wujud bermula dan berasal dari Prinsip Utama Yang Esa (Tunggal). Cahaya ini adalah sumber segala sumber, dan tak ada yang bisa menyamakan kedudukan Cahaya ini, Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahil bila ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas dari cahaya. Pendapat ini sama dengan pemikiran Ibn Sina tentang Wajib al-Wujud. Suhrawardi juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat diliputi aksiden (‘ardh) ataupun substansi (jauhar), karena dapat mengurangi Keesaan Tuhan. Maka dari itu, Cahaya Pertama mesti Satu (Esa, Tunggal), baik dzat maupun sifat-Nya.[14]
Gambaran Ringkas Identitas Buku
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa buku ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi penjelasan tentang logika dan epistemologi sedangkan bagian kedua berisi penjelasan tentang metafisika: ontologi dan eskatologi. Buku yang digunakan sebagai rujukan utama dalam review ini adalah hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia yang dari naskah berbahasa Arab Hikmah al-Isyraq oleh Muhammad al-Fayyadl dengan judul: Hikmah Al-Isyraq: Teosofi Cahaya dan Metafisika Huduri. Buku dengan tebal xxxvi + 248 halaman ini diterbitkan di Yogyakarta oleh penerbit Islamika tahun 2003. Penerjemah buku ini adalah Muhammad al-Fayyadl, seorang—yang dianggap—intelektual muda NU, mengenyam pendidikan menengah dan atas di di Pesantren Annuqayah, di Kabupaten Sumenep yang melanjutkan Jenjang S-1 Di IAIN Sunan Kalijaga pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam dan menempuh program Pascaarjana di Universitas Paris 8.
Di sini akan dipaparkan daftar isi dari buku Hikmah al-Isyraq. Pemaparan ini penting untuk melihat sistematika pemikiran Suhrawardi atau sekurang-kurangnya memberikan gambaran persoalan apa saja yang dibicarakan oleh Suhrawardi dalam buku ini. Berikut daftar isinya:
Bagian Pertama: Prinsip-Prinsip Berfikir
- Objek-objek Pengetahuan dan Definisi (Meliputi Tujuh Aksioma)
- Argumentasi dan Prinsip-prinsip Mendasar (Meliputi Beberapa Aksioma
- Penolakan Sofistik dan sebagian Pertanyaan yang Beredar dikalangan Mazhab Iluminasi dan Sebagian Aliran Paripatetik (Meliputi Sejumlah Pasal)
Bagian Kedua: Cahaya-cahaya Ilahi, Cahaya Mahacahaya, Prinsip-Prinsip Eksistensi dan Hirarkinya
- Cahaya, Esensinya, Cahaya Mahacahaya dan Yang Pertama Kali Beremanasi Darinya (Meliputi Sejumlah Pasal dan Aksioma)
- Hirarki Eksistensi (Meliputi Sejumlah Pasal)
- Bentuk Tindakan Cahaya Mahacahaya dan Cahaya-cahaya Pemaksa Disertai Diskripsi Pelengkap Tentang Gerakan-gerakan Lagit (Meliputi Sejumlah Pasal)
- Pembagian Barzakh, Kualitas, Komposisi dan Sebagian Fakultasnya (Meliputi Sejumlah Pasal)
- Kebangkitan Eskatologis (al-ma’ad), Profetologi dan Mimpi-mimpi (Meliputi Sejumlah Pasal)
Gambaran Ringkas Isi Buku
Bagian Pertama: Prinsip-Prinsip Berfikir
Refleksi filsafat Illuminasi Suhrawardi adalah kesadaran diri atau yang ia sebut dengan anniyah (ke-aku-an) yang juga bersifat intuitif. Bersandarkan pada anniyah (ke-aku-an) yang bersifat intuitif itu, Suhrawardi mengkritik model pengetahuan diskursif-rasionalistik Peripatetik. Pengetahuan model peripatetik yang digali dari proses pembatasan; definisi essensialis, meningkat ke proposisi, lalu silogisme ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek metafisik.
Ciri utama metode diskursif peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang benar dapat dicari,[15] meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap. Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (pembatasan).[16] Singkat kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar. Inilah proses “mengetahui” menurut filsafat peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat “dicari” tapi belum dapat “diperoleh”.[17] Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya,[18] dan menjalin hubungan langsung dengan objek. Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan harus sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu huduri (knowledge by presence atau pengetahuan dengan kehadiran atau pengetahuan presensial). Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini realitas dapat diperoleh apa adanya (what it is) atau kuiditas dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is).
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi atas sesuatu yang tidak ada (non-empiris) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea realitas sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui.[19] Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai.[20] Di sinilah sekali lagi perbedaan antara peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal dengan illuminasi yang menekankan kehadiran atau ilmu huduri.
Berbeda dengan pengetahuan peripatetik, yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi, pengetahuan illuminasi bukanlah pengetahuan predikatif. Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat, antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.[21]
Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak demikian, keadaan subjek berarti mendahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan formal peripatetik tentang pengetahuan.[22]
Baca Juga : Hermeneutika (Pisau Orientalis dalam Studi Al-Qur’an)
Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran diri-subjek.[23]
Bagian Kedua: Metafisika Cahaya, Prinsip Eksistensi dan Herarkinya
Doktrin filsafat Isyraqi bermula dari pandangan Suhrawardi bahwa Allah adalah Cahaya dari semua cahaya (Nur al-Anwar) dan sumber bagi semua yang ada. Pandangannya ini didasarkan pada Al-Qur’an, surat al-Nur: 24, “Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi.” Berangkat dari ayat itu, lahir konsep nur (cahaya) yang membentuk hirarki tertentu. Segala sesuatu dapat dibagi menjadi “cahaya dalam hakikat dirinya” (nur fi haqiqat nafsih) dan “sesuatu yang bukan cahaya dalam hakikat dirinya” (ma laysa bi nur fi haqiqat nafsih), yakni kegelapan atau bukan cahaya. Sementara “cahaya dalam dirinya” disebut sebagai cahaya murni atau cahaya semata (al-nur al-mujarrad). Meski demikian, patut dicatat bahwa cahaya itu memiliki tingkatan yang berbeda kekuatannya, kejelasan dan ketidak-jelasannya, terang atau pun redupnya.[24]
Cahaya itu sendiri mempunyai dua jenis: ada yang fakir dan membutuhkan seperti cahaya akal dan jiwa manusia; dan ada yang kaya dan absolut, yang tidak membutuhkan sama sekali, karena tidak ada lagi cahaya di atasnya, yaitu al-Haqq yang Maha Suci atau oleh Ibn Sina menyebutnya wajib al-wujud bi zatih. Di sini ia disebut Cahaya segala cahaya (Nur al-Anwar), Cahaya Yang Meliputi (al-Nur al-Muhith), Cahaya Yang Menguasai (al-Nur al-Qayyum), Cahaya Yang Suci (al-Nur al-A’zam), Cahaya Yang Paling Tinggi (al-Nur al-A’la), Cahaya Maha Pemaksa (al-Nur al-Qahhar).[25]
Hirarki cahaya punya kaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud. Wujud yang paling dekat dengan “Cahaya dari segala cahaya” adalah wujud yang paling sempurna, sementara yang paling jauh adalah yang paling sedikit cahayanya. Dalam kaitan Cahaya dengan wujud-wujud yang terdapat di bawahnya, cahaya dapat dibagi menjadi “cahaya dalam-dan-bagi dirinya” dan “cahaya dalam-dan-bagi yang lain”. Jenis cahaya kedua menyinari hal-hal yang lain dan arena itu merupakan “cahaya bagi yang lain” dan bukan bagi dirinya. Terlepas dari apakah bagi dirinya atau bagi yang lain, cahaya sepenuhnya nyata dan arena itu harus digambarkan sebagai hidup, karena hidup merupakan modus manifestasi diri yang aktual.[26]
Doktrin tingkatan-tingkatan wujud sebagaimana disebutkan di atas merupakan salah satu ajaran pokok filsafat Isyraqi. Ajaran lain yang punya hubungan erat dengan ajaran tingkat-tingkat wujud, adalah teori kognisi, yang menyamakan antara pikiran dan wujud. Dari kedua teori itu muncul ajaran ketiga yang belakangan memainkan peranan cukup penting dalam pandangan-dunianya yang religius, yang dalam perkembangannya mendapat kontribusi dari pemikiran sufi, yakni ajaran “Alam Misal”. Doktrin sufi ini menegaskan adanya dunia gambar-gambar ontologis yang di dalamnya realitas spiritual dari “alam atas” mengambil bentuk gambar-gambar kongkret dan jasad-jasad kasar dari alam materi (“alam bawah”) menjadi jasad halus dan gambar-gambar.[27]
Doktrin tentang hirarki cahaya ini sekurang-kurangnya memiliki tiga intisari, yaitu: pertama, Cahaya. Cahaya di sini dibagi dua; (1) cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya. Cahaya ini merupakan bentuk asli, paling murni dan tidak tercampur unsur kegelapan sedikitpun, cahaya yang paling mandiri. (2) cahaya dalam dirinya sendiri tapi untuk sesuatu yang lain. Cahaya ini bersifat aksidental dan terkandung di dalam sesuatu yang lain. Cahaya yang tercampur dengan unsur kegelapan.
Kedua, kegelapan. Kegelapan pun di bagi dua; (1) kegelapan murni disebut substansi kabur (al-Jauhar al-Ghasiq); (2) kegelapan yang terdapat di dalam sesuatu yang lain, sudah terkontaminasi. Kemudian yang ketiga, Barzakh. Yaitu pembatas, penyekat antara cahaya yang ada diatasnya dan cahaya yang ada dibawahnya. Perantara, penghubung antara yang nyata dengan yang gaib. Penghubung gelap dan terang, bentuk asli dari barzakh sendiri adalah gelap. Barzakh diumpamakan sebagai kaca riben.
Catatan Penutup
Satu hal yang patut dicatat dari penjelasan di atas Filsafat Iluminasi yang tertuang dalam buku Hikmah al-Isyraq bukanlah suatu filsafat yang ditulis secara sistematik, oleh karena itu penguraiannya dalam bentuk sistematik sulit dilakukan. Itu pula sebabnya tak sedikit kalangan memandang jika Filsafat Iluminasi terkesan rancu dan inkonsisten. Pada saat tertentu ia ingin mempertahankan komitmen akidah keagamaannya, tapi di saat yang lain ia ingin mengikuti tuntutan intelektual yang logis dan rasional.
Terlepas dari hal tersebut, yang jelas kehadiran filsafat ini tak lain dari reaksi sangat keras terhadap bentuk filsafat Islam masa itu, yakni filsafat Peripatetik yang memiliki paradigma dominan dalam filsafat Islam, dan oleh sementara pihak melihat itulah bentuk finalitas filsafat Islam. Karena itu Suhrawardi tampil mengenalkan Filsafat Iluminasi sebagai bentuk filsafat yang baru.
Daftar Rujukan
- Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)
Hossein Ziai, “Syihab Al-Din Suhrawardi: Pendiri Mazhab Filsafat Iluminasi”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliever Leaman (Ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, Terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003)
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Atlanta, Gerfia: Scholar Press, [tt])
Ian R. Netton, “The Neoplatonic Substrate of Suhrawardi’s Philosophy of Illumination: Falsafa as Tasawwuf” (247-60) in Leonard Lewisohn, ed., The Legacy of Mediaeval Persian Sufism (London: Khaniqahi Nimatullahi Publications, 1992)
John Walbridge, The Leaven of the Ancients: Suhrawardi and the Heritage of the Greeks (SUNY series in Islam, State University of New York Press, 2000)
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
Seyyed Hossein Nasr, “Theology, Philosophy and Spirituality”, dalam Seyyed Hosein Nasr and William C. Chittick, (ed.), Islamic Spirituality, Vol. 1., (New York: The Crossroads Publishing, 1991)
Syihab Ad-Din Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq: Teosofi Cahaya dan Metafisika Huduri, Terj. Muhammad al-Fayyadl, (Yogyakarta: ISLAMIKA, 2010)
[1] Hossein Ziai, “Syihab Al-Din Suhrawardi: Pendiri Mazhab Filsafat Iluminasi”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliever Leaman (Ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, Terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003) hlm. 548.
[2] Ibid, hlm. 544.
[3] Ibid; Lihat juga Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006) hlm. 42.
[4] Ibid, hlm. 545.
[5] Syihab Ad-Din Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq: Teosofi Cahaya dan Metafisika Huduri, Terj. Muhammad al-Fayyadl, (Yogyakarta: ISLAMIKA, 2010) hlm. Xxxiii.
[6] Obskurantisme adalah tindakan yang dengan sengaja menyajikan informasi dengan cara yang berkesan kabur dan sukar dimengerti dengan tujuan agar tidak ada yang mencoba bertanya atau memahami lebih lanjut. “The practice of deliberately preventing the facts or full details of something from becoming known.” Lihat https://en.oxforddictionaries.com/definition/obscurantism diakses 1 Februari 2019 pukul 21.29.
[7] John Walbridge, The Leaven of the Ancients: Suhrawardi and the Heritage of the Greeks (SUNY series in Islam, State University of New York Press, 2000) hlm. 143.
[8] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Atlanta, Gerfia: Scholar Press, [tt]) hlm. 174.
[9] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hlm. 120.
[10] Ibid.
[11] Ian R. Netton, “The Neoplatonic Substrate of Suhrawardi’s Philosophy of Illumination: Falsafa as Tasawwuf” (247-60) in Leonard Lewisohn, ed., The Legacy of Mediaeval Persian Sufism (London: Khaniqahi Nimatullahi Publications, 1992), hlm. 258-9.
[12] Romantisisme didefinisikan sebagai suatu gerakan perlawanan atas rasionalisme dengan membuat suatu negativitas atas keunggulan rasio. Dalam konteks wacana pengetahuan, orang-orang romantis cenderung menggunakan intuisi untuk menjadi dasar epistemologisnya dalam mendekati realitas.
[13] Syihab Ad-Din Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq: Teosofi Cahaya dan Metafisika Huduri, hlm. Xxxv
[14] Syihab Ad-Din Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq: Teosofi Cahaya dan Metafisika Huduri, hlm. 103-120.
[15] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 136.
[16] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 141.
[17] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 141.
[18] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 117.
[19] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 160.
[20] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 61.
[21] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 141.
[22] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 142.
[23] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, hlm. 143.
[24] Seyyed Hossein Nasr, “Theology, Philosophy and Spirituality”, dalam Seyyed Hosein Nasr and William C. Chittick, (ed.), Islamic Spirituality, Vol. 1., (New York: The Crossroads Publishing, 1991) hlm. 428.
[25] Seyyed Hossein Nasr, “Theology, Philosophy and Spirituality”, hlm. 428.
[26] Seyyed Hossein Nasr, “Theology, Philosophy and Spirituality”, hlm. 429.
[27] Seyyed Hossein Nasr, “Theology, Philosophy and Spirituality”, hlm. 429.
One Response
sangat bermanfaat, makasih