Mencari Kebahagiaan Hakiki: Tinjauan Ringkas Kitab Ki ̂miya ̂’ al-Sa’a ̂dah – Program Kaderisasi Ulama

Mencari Kebahagiaan Hakiki: Tinjauan Ringkas Kitab Ki ̂miya ̂’ al-Sa’a ̂dah

Oleh: Hasan Al-Asy’ari/Peserta PKU Angkatan 14

 

Mencari Kebahagiaan Hakiki: Tinjauan Ringkas Kitab Kmiy’ al-Sa’dah

Oleh: Hasan Al-Asy’ari

 

Pendahuluan

“Kebahagiaan”, kata sederhana yang setiap orang mendambakan hakikatnya. Walaupun setiap orang berakal pasti mengenal kata ini dan pernah merasakannya, namun ternyata ia tidak mudah untuk dijelaskan. Hal menarik yang lainnya adalah fakta bahwa sebagian orang bisa mendapatkan kebahagiaan dengan cara yang sederhana tapi sebagian yang lain harus melalui cara yang lebih rumit. Ada yang bahagia mungkin ketika sudah punya mobil baru, naik jabatan, punya popularitas dan sebagainya yang bersifat memenuhi hawa nafsu yang tak berujung. Hal yang lebih parah lagi adalah ada juga yang kebahagiaannya didapat ketika dia berkuasa, mengontrol banyak orang, bisa menindas orang banyak, mengadu domba, atau setidaknya senang ketika melihat orang lain susah.  Namun, ternyata tidak sedikit juga, orang yang bisa mendapat kebahagiaan ketika dia bisa berbuat baik kepada sesama dan juga beribadah kepada Tuhannya.

Karena dia (kebahagiaan) menjadi tujuan utama setiap manusia, maka tak heran jika kebahagiaan ini menjadi topik yang dikaji dengan mendalam oleh para filsuf, ulama atau ilmuwan. Salah satu ulama dalam Islam yang mengkaji mengenai hal ini adalah Imam al-Ghazali. Salah satu kitab beliau yang fokus mengkaji mengenai kebahagiaan ini adalah kitab Kmiy’ al-Sa’dah (Kimia kebahagiaan).

Buku Kimia Kebahagian tersebut terdiri atas empat elemen utama, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan tentang dunia sebagaimana adanya, dan pengetahuan tentang akhirat sebagaimana adanya.[1] Berikut akan ditinjau secara ringkas berdasarkan bacaan awal penulis mengenai buku Kimia Kebahagiaan al-Ghazali.[2]

 

Baca Juga: Wacana Feminisme di Ruang Publik: Mewaspadai Modus Operandi

 

Mengenal diri

Dalam diri manusia ini ada tiga sifat yang bersemayam: hewan, setan, dan malaikat.[3] Jika kebahagiaan manusia itu lebih kepada hal-hal yang memuaskan hawa nafsu saja, seperti makan, minum, dan tidur, maka manusia seperti ini bisa digolongkan ke kelompok hewan, karena hewan juga melakukan itu. Sedangkan manusia-manusia yang senangnya berbuat kejahatan, tipu daya, mencelekakan orang lain, dusta dan seterusnya, mereka bisa digolongkan ke kelompok setan. Sedangkan mereka yang senang merenungkan keindahan Tuhannya dengan berzikir dan berpikir dan condong ke dalam kebaikan, maka mereka bisa digolongkan ke dalam golongan malaikat, atau bahkan lebih tinggi dari malaikat.

Walaupun manusia punya tiga sifat yang telah disebutkan di atas, namun kebahagiaan yang paling tinggi terdapat pada sesuatu yang esensial. Di mana esensi setiap makhluk adalah suatu yang tertinggi dan khas dalam dirinya. [4] Dan sesuatu yang paling tinggi dalam diri manusia adalah akal atau disebut juga jiwa rasional yang dengannya manusia mampu merenung tentang Tuhan.[5] Sehingga kebahagiaan tertinggi bisa didapat apabila manusia mampu menggunakan akalnya untuk mendapatkan pengetahuan tentang-Nya.

Mengenal Tuhan

Mengenal Tuhan ini bisa dimulai dengan merenungi apa yang ada paling dekat dengan diri kita, yakni diri kita sendiri. Selanjutnya, bisa merenungi apa-apa yang bisa kita amati di sekitar kita, mulai dari tumbuh-tumbuhan, gunung, bulan dan matahari. Jadi, apa saja yang menimpa diri kita dan apa saja yang kita amati bisa menghantarkan kita pada kewujudan Allah swt.

Akan tetapi, di sini al-Ghazali mengatakan bahwa pengetahuan tentang Allah melalui perenungan saja tidak lah sempurna. Pengetahuan tersebut akan sempurna jika ia disertai dengan penyerahan diri dan ibadah. Jadi, selain menyadari adanya Tuhan dibalik alam ini, kita harus menyempurnakannya dengan beribadah kepada-Nya. Ibadah ini lah yang akan bisa menumbuhkan dan mengembangkan kecintaan kepada-Nya. Di mana cinta adalah benih kebahagiaan.[6]

Mengenal Dunia

Hakikatnya dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi para musafir dalam perjalanan menuju ke tempat lain. Di sinilah manusia mengumpulkan bekal. [7]

Namun nyatanya banyak dari manusia yang lupa untuk mengumpulkan bekal karena silau dengan keindahan dan kesenangan duniawi. Karena memang dunia ini bersifat cenderung menipu dan memperdaya, mewujud dalam beragam rupa. Misalnya, dunia berpura-pura seakan-akan ia akan selalu tinggal bersama kita, padahal kenyataannya, secara perlahan ia bakal pergi menjauh dan kita akan berpisah dengannya. [8] Kalau sejenak saja kita mau berpikir mengenai dunia ini, maka jelas lah apa-apa yang ada dunia ini hanya sebuah yang fana. Kekayaan, kecantikan, popularitas, jabatan, kecerdasan, dan hal-hal lainnya yang biasanya manusia mengejar-ngejarnya dan ketika sudah dapat mereka bangga-banggakan, sangat lah tidak pantas dikejar dan dibangga-banggakan karena semuanya bersifat sebentar dan cenderung menipu apabila tidak lihai mengelolanya. Jika kita bayangkan sejenak, kenikmatan dunia ini sangat lah sebentar dan sementara. Enaknya makan, mungkin hanya sampai beberapa suap, enaknya tidur mungkin juga hanya beberapa jam saja, enaknya hiburan seperti nonton Youtube, mendengarkan musik atau yang lainnya, juga hanya sebentar. Sungguh nyata kefanaan dan tipu daya dari dunia ini.

Mengenal Akhirat

Perjalanan manusia di dunia bisa dibagi ke dalam empat tahap, yaitu tahap indriawi, eksperimental, instingtif, dan rasional. Pada tahapan pertama, ia seperti seekor ngengat yang, meski bisa melihat, tak bisa mengingat sehingga ia akan menubrukkan dirinya berkali-kali pada lilin yang sama. Pada tahapan kedua, ia seperti seekor anjing yang setelah dipukul, akan lari saat melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahapan ketiga ia seperti seekor kuda atau domba yang secara instingtif segera kabur saat melihat macan atau serigala yang merupakan musuh alaminya. Sementara ketika melihat unta atau kerbau, dia tidak takut meski ukuran keduanya lebih besar. Pada tahapan keempat ia telah melampaui batas-batas kebinatangan itu sehingga mampu, hingga batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan masa depannya.[9] Jadi, manusia itu bisa berada pada berbagai tahapan yang berbeda, mulai tahapan hewani sampai tahapan malakut.

Akan tetapi, memang banyak manusia yang memilih menetap di dua tahapan yang paling rendah; tahap indriawi dan tahap instingtif.[10] Orang-orang pada tahap indriawi adalah orang-orang yang menolak akhirat. Mereka beranggapan bahwa neraka hanyalah temuan para teolog untuk menakut-nakuti manusia. Mereka menghina dan merendahkan para teolog. Berdebat dengan orang orang seperti ini tak banyak berguna. Mereka persis seperti ngengat yang akan terus saja menubrukkan diri mereka pada lilin yang sama.[11]

Sedangkan orang-orang yang berada pada tahap instingtif adalah orang-orang yang belum benar-benar bisa meyakini kehidupan akhirat itu. Mereka berpendapat bahwa kehidupan akhirat itu mungkin ada mungkin tidak ada, karena bagi mereka ajaran seperti itu masih banyak misterinya sehingga sulit untuk benar-benar dipercayai.[12] Hemat penulis, orang-orang seperti ini perlu diberikan penjelasan dan argumentasi-argumentasi yang logis namun sepertinya mereka akan bisa benar-benar percaya ketika mereka sudah mendapatkan suatu kejadian atau peristiwa yang besar dan berkesan dalam hidupnya.

Manusia yang sudah pada tahap malakut tentu adalah orang yang sudah mengetahui bahwa kehidupan yang sesungguhnya di akhirat. Sehingga di dunia ini dia fokus mengumpulkan bekal dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal.[13]

 

Baca juga: MENELAAH KEMBALI MAKNA ISLAM, IMAN DAN IHSAN

Kesimpulan

Maka sungguh kebahagiaan yang hakiki itu ketika kita bisa memunculkan sifat esensial dari diri kita, yaitu akal yang digunakan untung mendapatkan pengetahuan akan kewujudan dan keindahan Tuhan melalui perenungan atas diri kita dan alam ini secara keseluruhan. Kemudian, kita sempurnakan pengetahuan kita mengenai-Nya dengan ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya. Selain itu, kita harus bisa menempatkan dunia sebagai tempat mencari bekal dan akhirat sebagai tujuan sesusngguhnya.

[1] Al-Ghazali,  Kmiy’ al-Sa’dah: Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, (Zaman: Jakarta), diterjemahkan oleh Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, hlm. 6

[2] Artikel ini adalah rangkuman dari buku Kmiy’ al-Sa’dah: Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi. Sebagian besar isinya langsung diambil dari kitab tersebut, namun sebagian ada yang redaksinya disesuaikan dan sebagian kecilnya merupakan interpretasi penulis sendiri.

[3] Al-Ghazali,  Kmiy’ al-Sa’dah: Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, (Zaman: Jakarta), diterjemahkan oleh Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, hlm. 11

[4] Ibid, hlm. 14

[5] Ibid, hlm. 15

[6] Ibid, hlm. 40

[7] Ibid, hlm. 48

[8] Ibid, hlm. 51

[9] Ibid, hlm. 74-75

[10] Ibid, hlm. 76

[11] Ibid, hlm. 76

[12] Ibid, hlm. 77

[13] Lihat surah al-a’la ayat 17

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *