Oleh: Musfira Muslihat/Peserta PKU angkatan 15
Minimalisme menjadi sebuah gagasan untuk keluar dari kepenatan manusia yang kerap memproduksi dan mengkonsumsi secara kompulsif. Minimalisme digagas pada tahun 1960 di New York yang berfokus kepada penghematan konsumsi kebutuhan sekunder dan tersier secara besar-besaran.[1] Sikap tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan masyarakat modern terhadap manusia dan alam. Umumnya masyarakat modern menggunakan cara pandang Cartesian-Newton.[2] Cara pandang ini memusatkan manusia sebagai pusat kehidupan sedangkan tanaman dan binatang disederhanakan sebagai mesin.[3] Paradigma inilah yang menganggap alam semesta sebagai mesin dan manusia sebagai tuan. Dalam kritik dystopia misalnya, teknologi mesin ketik dan mesin cetak hadir untuk membantu manusia tapi kehadirannya dalam ranah industri berusaha meniadakan naturalis.[4] Produksi kertas dan penebangan hutan secara masal dilakukan. Karena era modern dapat diasumsikan bahwa setiap orang memproduksi dan setiap orang mengkonsumsi.[5] Inilah permasalahan yang mendasar dari masyarakat modern, yang tidak hanya berdampak pada kerusakan alam tapi kesehatan mental masyarakat yang impulsif dalam mengkonsumsi. Lalu memengaruhi budaya dan kehidupan sosial yang disebabkan oleh produksi masal serta tawaran produk terbaru dipasar oleh sistem industralisasi. Minimalisme akhirnya hadir dan diharapkan memberikan solusi dalam memulihkan kondisi masyarakat modern, yang mengalami kemunduran dalam materalisme.
Etika Minimalis
Minimalisme hadir setelah materialisme dan memiliki perbedaan satu sama lain. Cara pandang materialisme memfokuskan gaya hidup yang materialis. Cara pandang utamanya adalah kepuasaan hidup (life satisfaction) dan ditandai oleh kesuksesan hidup.[6] Sedangkan minimalisme berfokus kepada gaya hidup minimalis. Minimalis merupakan gaya hidup yang meninggalkan ketidakaturan lalu berusaha menerapkan lingkungan serta gaya hidup yang sederhana.[7] Perbedaan selanjutnya terletak pada sumber kebahagiaan, sumber kebahagiaan dari materialisme terletak pada kepemilikan terhadap uang dan kemewahan. Sedangkan sumber kebahagiaan dari minimalisme adalah memanfaatkan barang—kepunyaan—secara maksimal dan efisien [8] Terakhir, respon terhadap pasar. Materialisme cenderung bersikap responsif terhadap kebaruan. Sedangkan minimalisme cenderung menerima terhadap apa yang dimilikinya tanpa mengikuti pasar yang sedang trend—misalnya produsen teknologi yang terus mengeluarkan produk barunya—dan bersikap syukur.[9] Sehingga perbedaan materialisme dan minimalisme terbagi atas konsep yang digunakannya—materialis atau minimalis—, sumber kebahagiaan, dan respon terhadap pasar. Sekarang, apakah akan memilih materialisme atau minimalisme?
Pada abad ke-20 masyarakat cenderung memilih minimalisme. Kecenderungan memilih minimalisme dilandasi oleh dampak buruk yang telah dialami masyarakat modern karena cara pandang materialisme yang pernah diterapkannya. Lebih lanjut Kasser menyebutkan bahwa tujuan yang bersifat eksternal—seperti kekayaan dan material—tidak dapat sejalan dengan tujuan yang bersifat internal—seperti kehidupan sosial dan kualitas diri—. Sehingga cara pandang materialisme tidak dapat memenuhi kebutuhan psikologis manusia,[10] dengan kata lain sumber kebahagiaan yang diperoleh dari materialisme hanyalah bersifat semu. Sama halnya dengan minimalisme, minimalisme pun sebagai sumber kebahagiaan yang semu. Minimalisme memunculkan emosi positif bagi individu. Emosi positif inilah memengaruhi kehidupan sosial, kualitas diri, keasadaran, dan toleransi mental terhadap ketidakpastian.[11] Namun keadaan tersebut menghantarkan kepada solusi parsial terhadap keharmonisan di bumi.
Baca juga: Kenikmatan adalah Ujian – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)
Problem Minimalisme
Minimalisme mengandung dua aspek yang berpotensial merusak keharmonisan antara aktivitas manusia dan ekosistem di bumi. Pertama, aspek ekonomi dan lingkungan. Perubahan gaya hidup tidak berdampak pada eksploitasi terhadap sumber daya alam.[12] Minimalisme nampak tidak berusaha merusak alam—ekploitasi di bumi untuk memenuhi kebutuhan materil yang bersifat kemewahan—karena mengurangi bagian yang tidak diperlukan dalam keseharian hingga desain pemukiman tapi perubahan gaya hidup tidak menutup kemungkinan adanya ekploitasi alam. Kecenderungan atas produsen—yang bersifat kapitalis—beradaptasi terhadap psikologi konsumen sehingga produksi masal dapat terjadi namun dengan selera baru dari konsumen. Kedua, aspek internal individu yang berkaitan dengan kecenderungan dengan gaya hidup yang tidak memerhatikan kebutuhan dasar manusia—untuk jiwanya, akalnya, dan raganya—. Kesederhanaan dalam minimalisme bukan hanya gaya hidup tapi mindset yang membatasi dengan makna mengurangi bagian tertentu pada sebuah aktivitas. [13] Bagian ini bukanlah esensial dari pemenuhan sumber kebahagian tapi hanya bersifat sementara. Individu dapat merasa cukup dengan yang dimilikinya karena target kebutuhannya pun minim serta telah dipenuhi tapi hanya bersifat individualis. Sikap individualis inilah yang cenderung menghantarkan kepada kebahagian sesaat dan merupakan solusi parsial untuk membentuk keharmonisan.
Baca juga:Sejarah Kodifikasi Ushul Fiqh – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)
Penutup
Keharmonisan antara aktivitas manusia dan ekosistem di bumi dapat harmonis dengan tanpa materialisme atau minimalisme, tapi dengan sikap materialis dan minimalis dalam pandangan Islam. Keduanya—materialis dan minimalis—tidak dijadikan -isme[14] melainkan hanya sebagai bentuk dari sikap dan perilaku manusia, bukan sebagai dasar kepercayaan. Dalam pandangan Islam harta digunakan untuk kesempurnaan ibadah mahdhah, memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada allah swt, meneruskan estafet kehidupan, menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, bekal mencari dan mengembangkan ilmu, keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan, untuk menumbuhkan silaturrahim.[15] Sehingga harta—berupa material harta benda—bukanlah sumber kebahagiaan yang utama.
Selanjutnya materialis dilengkapi dengan gaya hidup minimalis berdasarkan perspektif Islam. Gaya hidup minimalis masih mengafirmasi untuk mengurangi harta benda yang berlebihan, karena mengetahui segala yang dimiliki akan dipertanggung-jawabkan kepada Allah swt di hari akhirat nanti.[16] Aturan untuk tidak mengekploitasi sumber daya alam menjadi rujukan dalam gaya hidup minimalis dari perspektif Islam. Islam memandang alam sebagai ciptaan Allah swt yang dirawat dan dapat mengambil manfaatnya sesuai dengan kebutuhan tanpa eksploitasi. Inilah Islam sebagai worldview yang menjaga keharmonisan alam semesta.[17] Sehingga sumber kebahagiaan tidak lagi terletak dalam memperoleh atau membatasi harta benda semata, tapi memiliki nilai yang lebih dalam, yaitu perilaku atas ketaatan pada Allah swt. Inilah yang berusaha mewujudkan keharmonisan manusia dan ekosistem di bumi secara komprehensif bukan parsial.
[1] Alice Healy, The Rise of Minimalism, Diakses melalui https://johnschronicle.org/2019/02/13/the-rise-of-minimalism/ pada tanggal 2 agustus 2021
[2] Fritjof Capra, The Turning Point (New York: Simon and Schuster, 1982), 16.
[3] Ibid, 61.
[4] Fawzia Gilani-Williams, “Islamic Critical Theory: A Tool for Emancipatory Education,” International Journal of Islamic Thought 5, no. 1 (2014): 16–27, https://doi.org/10.24035/ijit.05.2014.003.
[5] Ibid.
[6] M. L. Richins and S Dawson, “A Consumer Values Orientation for Materlism and Its Measurement: Scale Development and Validation,” Journal of Consumer Research 19, no. 3 (1992): 303–15, https://doi.org/10.1086/209304.
[7] Leo Babauta, the simple guide to a minimalist life, (CreateSpace Independent Publishing Platform, 2009), 6.
[8] Shmuel Fischler diakses melalui https://www.cbtbaltimore.com/minimalism-vs-materialism-can-there-be-a-happy-medium/ pada tanggal 2 Agustus 2021.
[9] Hannah Graham diakses melalui https://verilymag.com/2021/02/where-materialism-and-minimalism-intersect-satisfying-our-ever-changing-need-for-stuff pada tanggal 2 Agustus 2021
[10] Kasser, T. The high price of materialism. (Cambridge: MIT Press, 2020)
[11] Kasey Lloyd, William Pennington. Towards a Theory of Minimalism and Wellbeing
[12] Miriam Meissner. Against Accumulation: lifestyle minimalism, de-growth and the present post-ecological condition. Journal of Cultural Economy, Vol. 12, No. 3 (2019): 185-200.
[13] Leo Babauta, the simple guide to a minimalist life, (CreateSpace Independent Publishing Platform, 2009), 53.
[14] Definisi ‘isme’ adalah sistem kepercayaan berda-sarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme; liberalisme; komunisme diakses melalui https://kbbi.web.id/-is%20isme pada tanggal 2 Agustus 2021
[15] Sarmiana Batubara. Harta Benda (Al-Mal) dalam Fiqh Muamalah. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kemasyarakatan, Vol. 16, No. 2 (2017)
[16] زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ “. Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” QS. Ali Imran: 14
[17] وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: ‘Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan’ QS. Al-A’raf Ayat 56
No Responses