Hubungan Maqaashid Syari’ah dengan Ekologi Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi

Oleh: Riani Asyifa/Peserta PKU angkatan 15

Krisis lingkungan sudah menjadi isu hangat untuk diperbincangkan dan memerlukan kesadaran serta kepedulian seluruh masyarakat.[1] Berikut ini contoh-contoh kerusakan yang terjadi di alam yang sebagian besar karena ulah manusia, di antaranya: banjir, fenomena hutan beton, bangunan di kota-kota besar yang mereduksi ruang terbuka hijau, penyempitan lebar dan pendangkalan kedalaman sungai, abrasi laut/sungai, pembuangan sampah secara sembarangan, polusi lingkungan dan udara.[2] Semua ini terjadi karena sudah tidak adanya sifat tanggung jawab dan kredibilitas manusia terhadap permasalahan lingkungan saat ini.[3]

Al-Qur’an menjelaskan bahwa segala sesuatu di muka bumi merupakan tanggung jawab manusia, termasuk dalam menjaga lingkungannya. Allah melarang manusia untuk berbuat kerusakan di bumi dalam surat Ar-Rum ayat 41, artinya:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini harus menjadi pengingat bahwa segala kerusakan yang terjadi di muka bumi ini merupakan akibat ulah tangan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Baca juga: Mencari Kebahagiaan Hakiki: Tinjauan Ringkas Kitab Ki ̂miya ̂’ al-Sa’a ̂dah – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)

Biografi Yusuf Al-Qaradhawi

Yusuf Al-Qaradhawi merupakan seorang ulama mujaddid dan mujtahid kontemporer di penghujung abad ke-20 yang telah memberikan sumbangan dalam bidang ilmu pengetahuan, pemikiran, dakwah, pendidikan dan jihad. Al-Qaradhawi selalu membumikan ajaran Islam serta menggarisbawahi aspek kemaslahatan dalam penentuan hukum Islam. Sebagai ulama yang peduli lingkungan, dia telah berkontribusi dalam bidang lingkungan hidup melalui karyanya yang berjudul Riayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam Agama Ramah Lingkungan.[4]

Baca juga: Sikap Zuhud dan Lingkungan Hidup – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)

Hubungan Maqaashid Syari’ah dengan Ekologi Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi

Al-Qaradhawi dalam bukunya yang berjudul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam, menjelaskan bahwa pada intinya persoalan lingkungan hidup adalah persoalan moral. Oleh karena itu, solusi yang efektif harus bersandar pada moralitas manusia, yaitu dengan cara reaktualisasi nilai-nilai moral, keadilan, kebaikan, keramahan, dan sikap tidak sewenang-wenang. Al-Qaradhawi menawarkan konsep tentang fikih lingkungan menyesuaikan perkembangan zaman serta kebutuhan manusia.[5]

Menurut Al-Qaradhawi, terdapat hubungan yang signifikan antara agama dan lingkungan hidup. Agama secara signifikan dapat memberikan kontribusi terhadap menjaga kualitas lingkungan alam sekitar. Dia menjelaskan bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-Syari’ah). Maka dari itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib ila bihi fawuha wajibun (sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).[6]

Menurutnya, manusia memiliki peranan yang penting dalam pemeliharaan lingkungan, berinteraksi dengan baik sesuai hukum-hukum yang telah digariskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, melaksanakan serta memelihara pemberlakuan hukum-hukum tersebut. Peranan di atas merupakan tujuan-tujuan yang mulia di tengah-tengah kehidupan manusia, yang dalam bahasa Imam Ar-Raghib Al-Asfahani disebut sebagai hikmah Allah kepada para mukallafin, yang akhirnya dibagi menjadi tiga tujuan. Antara lain: pertama, untuk mengabdi kepada Allah. Kedua, sebagai wakil Allah di bumi. Ketiga, membangun peradaban di muka bumi. Usaha-usaha di atas akan sempurna lewat cara menanam, membangun, memperbaiki dan menghidupi, serta menghindarkan diri dari hal-hal yang merusak.

Dalam penerapan hifdh al-Bi’ah, Al-Qaradhawi mengutip pernyataan Al-Shatiby yang menyatakan bahwa menjaga daruriyat al-Khams bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, min jalb al-wujud (tindakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan). Kedua, min jalb al-adam (pencegahan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan dan bahaya).[7]

Atas dasar di atas, Al-Qaradhawi membagi penerapan hifdh al-bi’ah dengan kulliyat al-khams adalah sebagai berikut: pertama, hifdh al-Bi’ah merupakan bagian dari menjaga agama. Menurutnya, menjaga lingkungan dengan baik sangat berkaitan erat dengan keberagamaan yang baik. Kedua, hifdh al-bi’ah merupakan bagian dari menjaga jiwa. Menurutnya, yang dimaksud dengan hifdh al-nafs adalah menjaga kehidupan, keselamatan, dan kesehatan manusia. Ketiga, hifdh al-bi’ah merupakan bagian dari menjaga keturunan. Menurutnya, merusak lingkungan hidup akan mengancam kehidupan generasi selanjutnya. Al-Qaradhawi, secara tegas mengatakan bahwa mendidik anak dan menjamin perkembangan dan pertumbuhannya adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang tua. Keempat, hifdh al-bi’ah merupakan bagian dari menjaga akal. Menurutnya, hifdh al-bi’ah secara umum adalah menuntut seseorang untuk menjaga keseluruhan kondisi manusia baik jasad maupun akal. Kelima, hifdh al-bi’ah merupakan bagian dari menjaga harta.[8] Oleh karena itu, menjaga daruriyat al-Khams harus dilakukan oleh setiap muslim.

Baca juga: Antara “clash of civilization” dan Pluralisme – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)

Penutup

Menurut Al-Qaradhawi, Hifdh al-bi’ah merupakan bagian dari maqasid al-sya’riah yang penting sebagaimana pentingnya kulliyat al-khams. Namun menurut Al-Qaradhawi, posisi hifdh al-bi’ah hanya sebagai wasilah untuk terwujudnya maqasid yang pokok, yaitu hifdh al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-nasl, hifdh al-aql, dan hifdh al-mal. Maknanya, kuliyyat al-khams tidak akan terwujud dengan sempurna jika mengabaikan wasilahnya, yaitu berupa hifdh al-bi’ah.

[1]Tina Ratnawati, Etika Lingkungan, Cet.2; Ed 1. ISBN: 978-979-011-916-1 (Universita Terbuka, Banten, Maret 2016), p. 78.

[2] Jamaluddin, Fiqh Al-Bi’ah Ramah Lingkungan: Konsep Thaharah dan Nadhafah dalam Membangun Budaya Bersih, IAIT, Volume 29, No. 2 (2018), p. 6.

[3] Wardhana, Ridwan, Pendidikan Islam Berwawasan Lingkungan Hidup pada Madrasah Ibtidaiyah di Bone Sulawesi Selatan, Jurnal Mudarrisuna, Vol. 9. No. 1 (2019), p. 83.

[4]Yusuf al-Qaradhawi (2002), Islam Agama Ramah Lingkungan, terj. Abdullah Hakim Shah, dkk, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

[5] Ahmad Sarip Saputra, 2020. “Hifdh Al-Bi’ah sebagai Bagian Dari Maqasid Al-Shari’ah” . Surabaya: Skripsi UIN Sunan Ampel.

[6] Safrilsyah, Fitriani, “Agama dan Kesadaran Menjaga Lingkungan Hidup”, Substantia, Volume. 16, No. 1 (2014), p. 9.

[7] Al-Shatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Shari’ah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008),  Juz. 2, p. 8.

[8] Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah…, P. 64-71.

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *