Hermeneutika (Pisau Orientalis dalam Studi Al-Qur’an) – Program Kaderisasi Ulama

Hermeneutika (Pisau Orientalis dalam Studi Al-Qur’an)

Oleh: Hasbi Arijal, S.Fil.I

The time has surely come subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures”

Ungkapan tersebut dilontarkan oleh salah seorang pendeta Kristen asal Irak, Alphonse Mingana (yang juga pelopor dari Selly Oak Colleges-Brimingham University) pada tahun 1927.

Artinya, semangat para Orientalis untuk melakukan kajian kritis terhadap al-Qur’an memang sudah dirancang sedemikian rupa, sehingga apa yang telah mereka lakukan terhadap Bibel, mereka yakini juga harus diterapkan dalam studi al-Qur’an.

Sejarah mencatat, sejak awal bibel sebagai textus receptus ummat Kristiani dianggap bermasalah dan membingungkan baik dari sisi keaslian, bahasa teks bahkan sisi isi kandungannya. Maka tidaklah heran apabila seorang Richard Elliott Friedman, yang pakar dalam kajian bibel menulis buku Who Wrote the Bible? (1987), yang secara eksplisit mengulas tentang siapa sebenarnya penulis bibel dan bagaimana.

Problem ini juga yang menjadi salah satu penyebab utama hadirnya hermeneutika sebagai “jalan keluar” agar bisa lebih memahami kitab Bibel itu sendiri.

Hermeneutika diambil dari kata Yunani hermenuin, yang artinya tafsir, penjelasan serta penerjemahan. Dalam ranah teologi, hermeneutika diartikan sebagai metode untuk mengartikan wahyu Tuhan yang samar dan tidak jelas, agar sampai kepada pemahaman terhadap wahyu tersebut. Pendapat lain mengatakan bahwa hemeneutic diambil dari kata hermes.

Hermes sendiri merupakan utusan dewa-dewa dalam mitologi Yunani. yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Jupiter kepada umat manusia. Tugasnya menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia.

Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalah-pahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Sejak itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan.

Kembali ke- apa yang telah dikatakan oleh Alphonse daitas, memang sudah banyak terbukti. Sebut saja beberapa pentolan Orientalis dengan serius melakukan kajian terhadap al-Qur’an menggunakan pendekatan biblical cticism atau hermeneutika, diantaranya ada Theodor Nöldeke (1836-1930 M), Ignác Goldziher (1850–1921), Alphonse Mingana (1881-1937 M), Arthur Jeffery (1893-1959 M), dan Montgomery Watt (1909-2006 M).

Dengan berbagai motif dibelakangnya, para orientalis tersebut bertujuan ingin membuat ummat Islam ragu akan otentisitas kitab suci mereka sendiri dan harus mengkaji ulang lagi, seperti apa yang mereka lakukan terhadap bibel.

Theodor Nöldeke adalah orientalis yang memulai melakukan kritik terhadap asal-usul al-Qur’an dan sumber-sumbernya. Salah satu karyanya tentang ini adalah Geschice des Qorans (sejarah al-Qur’an), yang merupakan hasil disertasinya untuk meraih gelar doktor pada usia 20 tahun.

Mengenai karyanya ini, Arthur Jeffery berpendapat bahwa karya Nöldeke tersebut merupakan karya pertama kali yang secara ilmiah dalam mengkaji kitab suci ummat Islam. Tidak heran buku tersebut dianggap sangat penting bagi kalangan orientalis dan dicetak ulang oleh salah seorang muridnya, Friedrich Schwally.

Lain Nöldeke, lain Goldziher. Tokoh kedua ini banyak mengkaji al-Qur’an dari sisi rasm dan qiroat nya, hal ini dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul“Madzahib Al Tafsir Al-Islami” dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “Madzhab Tafsir dari Aliran Klasik Hingga Modern”.

Goldizher melihat, banyaknya perbedaan qiroat dalam al-Qur’an berimplikasi pada kejanggalan-kejanggalan bacaan yang tidak sama dan berbeda-beda. Maka, secara tidak langsung ia meragukan apakah teks yang pertama kali diturunkan masih sama dengan teks yang dikumpulkan dan menjadi mushaf Ustmani.

Ada lagi Arthur Jeffery, orientalis yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengkaji al-Qur’an berpendapat, agama yang memiliki kitab suci pasti akan bermasalah. Disebabkan tidak adanya riwayat jelas dari para pengumpul naskah-naskah suci tersebut, jadi apa yang ada sekarang belum tentu sama persis dengan apa yang ada pada zaman dahulu, termasuk naskah-naskah al-Qur’an.

Sudah menjadi mahfum bersama para orientalis berkesimpulan demikian. Mereka berangkat dari cara pandang berbeda, maksud dan tujuan berbeda dalam mengkaji al-Qur’an. Dari cara pandang ini berimplikasi pada metode pendekatan orientalis terhadap al-Qur’an.

Ketika hermeneutika menjadi pilihan utama, maka teks sesuci apapun tidak berarti lagi dan berstatus sama sebagaimana teks-teks biasa. Karena teks merupakan pusat dari segitiga hermeneutika, yaitu teks, pengarang dan pembaca, ditambah lagi karakteristik hermeneutika adalah tidak akan pernah ada kefinalan dan keabsolutan dalam penafsiran.

Sebenarnya, yang lebih meresahkan juga mengkhawatirkan bukan saja masalah diatas. Melainkan, banyaknya cendikiawan-cendikiawan muslim saat ini termakan dan ikut menggandrungi kebiasaan para Orientalis diatas, sehingga karya-karya para cendikiawan ini bukannya menentramkan serta mengukuhkan keimanan terhadap al-Qur’an malah membingungkan lebih-lebih menyesatkan.

Diantara yang bisa kita sebut adalah Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Hasan Hanafi, Farid Esack, dan lainnya. Ternyata, pemikiran mereka tidak sepi peminat di Indonesia ini. Contoh kasusnya adalah ketika seorang Lutfi Syaukani pendiri JIL sangat mengapresiasi sekali kajian orientalis dan penerusnya terhadap kajian al-Qur’an, karena dianggap banyak memberikan informasi yang tidak diberikan oleh para mufassir baik salaf maupun khalaf.

Akhir kata, apa yang pernah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi ungkapkan rasanya cukup bisa menjadi bahan renungan dan catatan. Disalah satu bait akhir tulisannya yang dimuat republika, beliau mengatakan bahwa apabila hal-hal yang seperti ini terus tejadi dan berkembang, maka masa hegemoni (Barat) terhadap ummat semakin dahsyat. Wallahu ‘alam bi showwab[]

Penulis adalah alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU VIII) Gontor sekaligus mentor Program Kaderisasi Ulama Gontor

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *