Feminis dan Kontroversinya – Program Kaderisasi Ulama

Feminis dan Kontroversinya

Oleh: Daru Nurdianna

pku@unida.gontor.ac.id- Akhir-akhir ini, ada sebuah kontroversi, yang dimulai dari poster agenda diskusi film dari Komunitas Feminis Jogja. Komunitas ini membuat agenda bedah film “Ragate Anak (2008)”-sebuah film tentang pelacuran di Indonesia-, yang diadakan di Toko Buku Gerak Budaya, Condong Catur, Jogjakarta 10 Juli 2019. Tersebarnya wacana kontroversial ini penting untuk diperhatikan. Karena ia menyebar dan bisa mengotori banyak pikiran muda, jika dibiarkan saja.

Dalam poster tersebut tertulis dua pembicara, pertama adalah seorang feminis yang memakai nama akun @lavia.minora dan berketerangan sebagai ‘pelacur‘, dan kedua adalah Elizabeth Sully, seorang aktivis feminis Jogjakarta. Kata jelas keterangan ‘pelacur‘ yang terpampang di poster menyulut kontroversi.

Lalu, pihak Feminis Jogja mendapat banyak kritikan sehingga merevisi poster dan menggantinya dengan keterangan: “peneliti, penulis, pegiat isu perempuan”. Pihak pembicara, yang mengaku dirinya sebagai feminis-panteis memberikan komentar dan pembelaan demikian:

“Sebenarnya saya tidak berkenan, karena bagi saya, semua orang adalah Pelacur. Saya, hingga hari ini masih dengan bangga melacurkan akal, pikiran, tenaga, dan hati saya untuk ilmu pengetahuan. Namun apa boleh buat, lagi-lagi kita, manusia, harus mengiyakan perkataan Imam Ghazali dalam kitabnya “al-Kasyfu wa al-Tabyin”, bahwa dunia adalah tempatnya ketertipuan. Tabik.

baca juga: Feminisme dan Penafsiran Al-Quran Aminah Wadud

Jika diperhatikan, ada permainan logika yang tidak sehat. Lihat pada pemaknaan terhadap semantik ‘pelacur’ dan cara penguatan argumen itu dengan dalil Ulama besar Imam Ghazali. Uniknya lagi, nama kitabnya disebutkan, seolah mereka sudah menguasai dan khatam serta mewakili seorang intelektualis yang religius dan bersahaja.

Pelacur dari kata dasar ‘lacur’ dalam KBBI bermakna negatif. Ia bermakna malang; celaka; sial; dan buruk akal. Namun dalam pernyataan itu, dianggap sebagai hal yang positif. Adapun ‘pelacur’, bermakna perempuan yang melacur atau wanita tunasusila. Tentu ini perbuatan yang tidak bermoral!.

Maka, melacurkan ilmu, akal, pikiran, tenaga, dan hati adalah tindakan yang berkebalikan dari moral dan tujuan yang seharusnya dari konsep akal, pikiran, tenaga dan hati. Misalkan kita sebut ada pelacuran ilmu, maka maknanya adalah ada penyelewengan yang terdapat di dalam ilmu pengetahuan.

Kemudian, kesimpulan premisnya tidaklah objektif dan nyambung. Orang-orang yang tertipu itu siapa? Imam Ghazali memperingatkan dengan kitabnya mengenai hal-hal yang benar dalam menjalani hidup, bukan yang salah. Terkhusus hal-hal yang banyak dipahami salah paham, sehingga manusia tertipu. Jadi, siapa yang tertipu?

Bukankah kaum feminislah yang tertipu? Mereka tertipu dengan ideologi mereka yang berpusat pada akal manusia (antroposentrisme-humanisme). Tertipu filsafat hidup orang Barat Modern. Hal ini terlihat dari peryataan bangga dan kontroversi mereka. Filsuf-filsuf Barat Nabi mereka. Bisa kita fahami dari perbincangan mereka, yang sering mengambil pendapat Filsuf Barat sebagai sandaran.

Ia melihat dunia dari perspektif perempuan dan dalihnya ingin menjadi manusia modern yang maju (sesuai keadaan zaman) dan bebas (modernisme). Ideologi mereka pun memiliki relativitas yang tinggi karena bertumpu pada kekuatan akal dan indra saja. Ini yang membuat mereka tidak bisa menerima kebenaran sejati Islam. Karena akal itu memiliki kemampuan yang terbatas dan lupa bahwa rasionalitas harus dikawal dengan Wahyu (keimanan).

baca juga: Feminisme dan Dekonstruksi Syariah

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, yang memiliki pengalaman studi pascasarjana di Barat, dalam bukunya “Liberalisasi Pemikiran Islam” yang diterbitkan oleh CIOS UNIDA Gontor menjelaskan:

“Asas Peradaban Barat adalah rasionalisme, sekularisme, empirisisme (positivisme), dualisme atau dikotomi, dan humanisme. Perkembangannya bertumpu pada rasio dan spekulasi filosofis, bukan pada Agama. Pemikirannya terbuka dan selalu berubah. Maka, makna realitas dan kebenaran hanyalah terbatas pada realitas sosial, kultural, empiris dan melulu bersifat rasional.”

Feminisme: Ideologi Yang Tak Pasti

Ideologi Feminisme yang sekarang marak digulirkan dengan nama ‘Kesetaraan Gender’, merupakan ideologi yang tidak objektif dan relatif. Hal ini dikarenakan ada beberapa sebabnya.

Pertama, mengenai sejarah dan konsep ideologi feminisme itu sendiri. Gerakan feminis adalah sebuah gerakan sekumpulan aktivis perempuan di Barat yang memiliki tingkat subjektifitas dan relativitas yang tinggi. Ia dilandasi dengan semangat protes dan ketidakpuasan kaum feminis atas keadaan sosial kaum perempuan yang masih belum sepenuhnya diakui dalam struktur masyarakat Barat saat itu.

Kedua, karena adanya persoalan dengan posisi Agama di Barat yang dijadikan pijakan nilia-nilai masyarakat, ternyata tidak adil dalam menempatkan perempuan. Akhirnya, feminisme merupakan gerakan perlawanan atas sistem patriarki dalam agama yang merambah ke politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Lalu mengakar dalam sikap, nilai, bahasa dan pemikiran. Dalam urat nadinya, mengalir semangat modernisme-liberalisme.

Ideologi yang tercipta dari konstruksi sosial atas keinginan segelintir kaum ini, tentu akan merepotkan jika dibiarkan. Dr. Henri merujuk pada Marlene LeGates, dalam ‘In Their Time, A History of Feminism in Western Society (New York & London: Routledge, 2001) menyebutkan bahwa feminisme terlihat sebagai paham yang beragam, tidak tunggal dan senantiasa berkembang. Jadi, seorang feminis memiliki pandangan pribadinya sendiri tentang feminisme.

Sesuatu yang miskin objektifitas namun kental dengan relativitas, dan rancu ini, mana mungkin mampu menjadikan asas dalam bermasyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni mendekonstruksi tatanan masyarakat.

Dari Kemarahan Subjektif Menjadi Diskursus Publik

Yang perlu diwaspadai dari ideologi Feminisme sekarang ini adalah berkembangnya menjadi wacana akademik dan diikuti banyak orang, serta menjadi Rancangan Undang-Undang di Negeri ini.  Salah satu kefokusan gerakannya adalah perjuangan kepentingan politik transnasional yang sengaja ingin meligitimasi ideologi mereka dan meminggirkan Agama dari kehidupan. Hal ini karena Agama adalah salah satu hal mendasar yang menghambat perjuangan mereka, terutama dīn al-Islām yang memiliki sistem ajaran yang mengatur segala lini kehidupan manusia.

Perjuangan feminis dan aktivis gender dari jalur tokoh elit politik, sebut saja, adalah jalur pejuangan atas. Ada beberapa wacana dan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan sejak 2011 diantaranya: RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender), memprotes RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).

Ideologi ‘Feminis’ dan ‘Gender’ masyarakat Barat, telah bergulir menjadi wacana akademik sejak 90-an. Hal ini membuat ketegangan  kontroversial, terutama umat Islam. Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH peneliti INSISTS mengatakan dalam ‘Feminisme & Kesetaraan Gender; Tantangan Wanita Muslimah’ menjelaskan:

“RUU ini dipandang sangat meresahkan umat beragama, khususnya kaum muslimin. Banyak sekali pasal-pasal kontroversial dan hanya mewakili kepentingan segelintir elit feminis. RUU KKG yang disusun tertanggal 24 Agustus 2011 ini cenderung seksis dan menyimpan semangat dekonstruktif terhadap nilai-nilai Agama dan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, menolak RUU KKG ini bukan berarti membenarkan atau bersikap acuh terhadap fenomena kekerasan yang menimpa perempuan.”

Selain dari wacana elit politik, gagasan kontroversi itu juga mereka sampaikan dengan tulisan yang logis dan menarik di media-media, sehingga membuat anak-anak muda yang mencari jati diri yang tidak memiliki kecintaan terhadap Agamanya, umumnya mudah terpengaruh.

Meskipun gaya bicara mereka frontal, namun tulisan komentar dan gagasan mereka deras. Dengan dalih pembelaan dan pemberdayaan perempuan yang logis dan ilmiah merujuk pada filosof-filosof Barat, membuat mereka terlihat keren dimata anak muda. Sebagaimana pernyataan kontroversial akun @lavia.minora yang kita bahas di depan, juga mendapat dukungan dari sebagian kalangan anak muda.

Sebut saja ulah mereka ini adalah jalur bawah perjuangan. Maksudnya adalah wacana-wacana yang mereka gulirkan dari kalangan masyarakat dengan membuat diskusi-diskusi publik yang dipunggawai oleh aktivis feminis lokal. Sebagaimana yang dilakukan komunitas-komunitas feminis di daerah-daerah, termasuk Komunitas Feminis Jogja yang kita bahas di awal.

Kehebohan mereka lagi, tercatat, dalam sebuah aksi masal di jalanan, mereka berani membawa poster-poster bertuliskan: “Bukan baju gue yang porno, tapi otak lo”, juga “My rok mini, my right, foke you” dan, “Aurat gue bukan urusan lo! Stop victim blaming, stop victim pelecehan seksual”.

Teriakan-teriakan itu, sama sekali tidak beradab, tidak bermoral dan irasional. Membolak balikkan hukum sesuka ‘dengkulnya’ sendiri.

Dalih pemberdayaan dan pembelaan perempuan, tanpa mereka sadari, dipenuhi kerancuan. Pertarungan definisi dan posisi mengenai feminisme dari setiap feminis adalah biasa. Juga, ada yang memanfaatkan emosional perempuan untuk memiliki kesetaraan dalam kiprahnya di ranah publik, justru sebagai cara pemanfaatan perbudakan kaum perempuan di dunia kerja.

Awalnya memang terlihat ‘wah’ menentang kontrol ideologi patriarkat dan kapitalisme, namun dalam praktik nyatanya, ternyata tidak ramah juga dengan kaumnya sendiri!

Maka, bagi para Muslimah, jadilah perempuan yang cerdas! Islam adalah hadiah terindah. Masyarakat Muslim tidak pernah mengalami sejarah sebagaimana yang dialami masyarakat Barat. Pun, hukum syariat Islam tentang perempuan memiliki tujuan untuk kemaslahatan dan memuliakan perempuan. Jadi, apakah kalian butuh ideologi feminis ini? Jawabnya adalah tidak perlu.[] Wallahua’lambishowab

Penulis adalah Alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU) ke-12, Universitas Darussalam Gontor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *