Fatamorgana Sustainable Development dalam Pembangunan – Program Kaderisasi Ulama

Fatamorgana Sustainable Development dalam Pembangunan

Oleh : Musfira Muslihat / Peserta PKU angkatan 15

Sustainable development dianggap sebagai obat penawar dari problem lingkungan yang terjadi. Sustainable Development Goal’s merupakan kelanjutan dari program yang dicetuskan PBB, yaitu Minenium Development Goals (MDG’s). Program tersebut mulai dijalankan serempak dari tahun 2020 hingga tahun 2024. Dari development-lah yang dipandang menjadi nilai tawar untuk perbaikan. Development berharap adanya tujuan memperbaiki individu dan tempat dalam rangka meningkatkan kebaikan bersama.[1] Mengingat kononialisme yang terjadi dan memberikan sumbangsih bobroknya masyarakat bahkan lingkungan. Sehingga sustainable development menjadi alternatif dari ideologi kapitalisme dan komunisme. yang berdampak atas eksploitasi alam dan nihilnya pendidikan bagi daerah jajahannya. Hingga program sustainable development berusaha untuk mengatasi masalah tersebut. Ia pun memiliki semangat yang kuat untuk mulai terimplementasi dari level desa hingga nasional.[2]

Baca juga : Teori Siyaq dan al-Wujuh Wa al-Nadzair dalam menentukan makna ayat al-Qur’an – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)

 

Problem Sustainable Development

Implementasi dari sustainable development mengikat atas nilai yang dibawanya.[3] Sustainable development berawal dari pandangan bahwa adanya negara tertinggal (underdeveloped) yang menjadi masalah.[4] Dari permasalahan ini menawarkan kebijakan yang bersifat internasional. Adapun nilai yang dipandang sebagai ketertinggalan melalui indikator Human Development Index (HDI). Indikator tersebut berlandaskan bahwa manusia sebagai tujuan dari pembangunan ekonomi.[5] Tujuan inilah yag bersifat materialistik, setiap orang yang telah sukses dalam pembangunana adalah individu yang diukur hanya dari material yang dimilikinya.

Arah materialistik pada sustainable development-lah yang menjadi tujuan yang bermasalah. Individu tidak bisa terlepas atas kebutuhan materialnya, namun jika itu yang menjadi tujuan maka individu diukur berkualitas hanya dari material yang sifatnya terbatas. Pembangunan berkelanjutan bersifat materialistik jika disandingkan pada keberlanjutan yang diharapkan pada esensi program tersebut maka tidak akan mencapai tujuannya. Ia mengikat pada setiap yang terbatas dalam individu meraihnya, seperti kesehatan fisik, pengetahuan, dan standar hidup yang layak.[6] Indikator tersebut nampak diterima secara umum karena merupakan kebutuhan dasar manusia, namun jika menjadi tujuan maka akan bermasalah. Yang seharusnya indikator tersebut hanyalah sarana untuk menjadikan manusia seutuhnya. Sehingga indikator atas pencapaiannya akan berbeda-beda dan haruslah mengikat konstruksi sosial, seperti individu dan institusi terkecil dari suatu masyarakat, yaitu keluarga.

Baca juga : Madzab Nasional Indonesia : Kritik Terhadap Pemikiran Fiqh Hazairin Sandiko Yudho Anggoro / PKU XV – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)

 

Pembangunan Parsial vs Komprehensif

Pembangunan yang bermasalah inilah yang akan memberikan solusi namun tidak permanen. Awalnya akan terlihat bahwa standar hidup masyarakat meningkat namun kecenderungan atas kesehatan mental mulai menurun. Kasus bunuh diri semakin meningkat dan depresi sudah masuk ketahap usia lebih muda. Individu seolah mencapai tujuan dari sustainable devepoment dengan menjadi individu yang bersosial, mampu memperoleh penghasilan, dan bersifat individualis. Kondisi yang menghantarkan pada setiap peran hanya berdasarkan timbal balik material. Sehinggai konsep pembangunan tidak dapat dianggap selesai.[7]

Pembangunan dapat bersifat parsial jika hanya berfokus pada material dan bersifat komprehensif jika tertuju pada perkembangan jiwa manusia. Latarbelakang parsial dari sustainable development tidak menimbang atas asas sosial dan individu yang tidak hanya terikat dengan material semata. Dalam perspektif keberlanjutan—yang komprehensif—dapat menimbang konsep development yang berfokus pada manusia yang bertumbuh mendekati Tuhannya.[8] Inilah sebagai dasar Islam dan secara epistemologi dapat bersifat universal. Pembangunan akan berbasis perbaikan dan pemulihan. Hingga akan sesuai dengan karakteristik dasar (fitrah) dari manusia. Inilah keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri.

Baca juga : Kritik Terhadap Pendidikan Seksualitas di Perguruan Tinggi – Program Kaderisasi Ulama (gontor.ac.id)

 

Penutup

Individu tidak dituntut mencapai material, namun material didistribusikan secara adil dan tujuan akhirnya menjadikan manusia sebagai insan yang sempurna, dari segi kecukupan material hingga akal. Manusia mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang bersifat materi dan dapat terus cukup atas yang ia miliki. Hingga mencapai ketenangan karena menemukan Tuhan yang Maha Mengatur hidupnya. Lalu setiap capaian akan berlandaskan dalam menuju tujuan insan kamil. Dampaknya adalah tatanan masyarakat akan didominasi oleh pembangunan yang bersifat keberlanjutan karena fokus pada manusia yang jika bumi ini pun hancur, tapi jiwa manusia tetaplah abadi. Inilah poin dari keberlanjutan yang bersifat komprehensif. Sehingga sustainable development yang hanya menitikberatkan pada pandangan materialistik dapat ditolak.

 

[1] Robert Potter, Geographies of Development: An Introduction to Development Studies (London & New York: Routledge, 2018), 8.

[2] UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

[3] Arif Setya Basuki, Pembangunanisme dari Pertumbuhan Ekonomi ke Peran Agama, (Ponorogo: CIOS, 2018), 15.

[4] Gilbert Rist, The History of Development (London & New York: Zed Books Ltd, 2008), 72

[5] Mahbub ul Haq, Reflections on human development: how the focus of development economics shifted from national income accounting to people-centred policies, told by one of the chief architects of the new paradigm (New York: Oxford University Press, 1995), p. 3.

[6] Elizabeth A. Stanton, “The Human Development Index: A History”, Political Economy Research Institute (2007), 9.

[7] al-Attas, Islam and Secularism, 154–5.

[8] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 88–89

No Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *