Apa yang Sebenarnya kita Rayakan? – Program Kaderisasi Ulama

Apa yang Sebenarnya kita Rayakan?

Oleh: Arif Setya Basuki

pku.unida.gontor.ac.id- Setiap bangsa, umumnya memiliki hari raya. Rata-rata hari raya tersebut, pasti memiliki latar belakang sejarah tersendiri. Tapi, kenapa kita mesti rayakan Idul Adha? Yang tiap tahun selalu berulang? Pasti, Allah berikan hikmah dan pelajaran yang bisa terus kita resapi.

Idul Adha, adalah layaknya hari kelulusan bagi Nabi Ibrahim AS. Akan segala ujian yang sudah beliau lalui. Rentetan ujian yang tidak pernah orang lain rasakan, baik sebelum atau sesudahnya. Hari Idul Adha, adalah hari di mana kita mestinya memahami ujian-ujian tersebut, dan hikmahnya bagi kehidupan sehari-hari kita.

Kalau kita bilang Idul Adha adalah kelulusan Nabi, lalu dari mana memulai pelajaran kehidupan dan ujian itu dimulai?

Kita bisa melihat bagaimana Nabi Ibrahim mulai diuji semenjak Ia kecil. Ibrahim muda, adalah orang yang suka bertanya dan menentang. Sebuah hal yang tidak biasa bagi anak muda pada saat itu. Bahkan mungkin, juga pada saat ini.

BACA JUGA: Alhambra Night Show 3.0, Pagelaran Seni Ala Perguruan Tinggi Pesantren

Hal yang biasa bagi orang yang baru mencari jati diri adalah, ia akan mengikuti kebiasaan lingkungan sekitar. Ia tidak akan mau dikucilkan, dianggap bukan bagian dari komunitas tempat Ia tinggal. Itu adalah ego yang khas pada anak muda, untuk mengikuti kebiasaan umumnya.

Seperti contoh yang kita lihat pada anak-anak muda di Indonesia sekarang ini. Mungkin mereka tidak menentukan sendiri pakaian yang mereka pilih. Atau lagu yang mereka dengar. Atau film yang mereka tonton. Bahkan makanan yang mereka makan. Itu semua sudah ter-setting sesuai dengan kondisi masyarakat umum.

Perasaan untuk bisa fit in dengan lingkungan adalah sebuah hal yang wajar. Tetapi nampaknya itu tidak berlaku dengan Nabi Ibrahim. Jika sekarang orang-orang kiri dengan bangga merasa paling benar ketika menolak “kemapanan sosial”, maka Nabi Ibrahim adalah salah satu contoh sejati yang mesti dicontoh seorang Muslim.
Bahkan Nabi Ibarahim tak hanya berani menantang lingkungan sekitarnya. Lebih jauh lagi, ia berani menantang ayahnya sendiri. Menentang keluarga yang Ia cintai.

Kenapa Ibrahim bisa lakukan hal tersebut? Tak lain, karena loyalitasnya adalah kepada Allah dan kebenaran semata.
Mari bayangkan jika kita sendiri dalam posisi Nabi Ibrahim. Jika kita diminta lakukan hal yang sama. Apakah kita bisa melakukannya?

Atau, kita akan memilih mengikuti ayah kita? Apakah “keluarga tetap yang utama”?
Itulah hikmah dari kisah Nabi Ibrahim AS. Layaknya karang, membela keadilan dan kebenaran bahkan di depan ayahnya sendiri. Ibrahim menderita tentu, tak hanya secara mental, namun juga secara fisik. Bahkan sampai ayahnya membuang Ibrahim. Hingga bahkan, Ibrahim dibakar hidup-hidup oleh kaumnya.

Kita sekarang, mungkin tidak di usir oleh orang tua kita. Tidak dikucilkan oleh masyarakat di kampung. Dan tentu, kita tidak dibakar hidup-hidup seperti Nabi Ibrahim.Tapi betapa mudahnya kadang, kita menjadi Muslim yang tidak bangga dengan Islam.

Tidak terasa, kita ikut terjangkit virus pluralisme dan permisivisme yang menjalar ke tubuh umat. Mengakui agama lain, saat mereka tidak mau mengakui Islam. Dengan mudahnya membenarkan kenyataan, bukannya menyatakan kebenaran.

Ujian Nabi Ibrahim namun, tidak berhenti sampai disitu. Ia diuji kembali, bahkan saat dia sudah menikah. Saat ia diminta untuk meninggalkan istri dan anak. Dahulu Ibrahim dibuang oleh keluarga, dan sekarang Ibrahim yang harus meninggalkan keluarganya. Dan saat anaknya bergegas muda, Allah kembali memberikan ujian baru. Yaitu menyembelih putranya sendiri, Ismail AS. Ibrahim yang dulu harus berkonfrontasi dengan ayah karena membela kebenaran, sekarang dia sendiri yang harus menyembelih putranya. Sekali lagi, kenapa?

Karena, loyalitasnya adalah kepada Allah dan kebenaran semata. Ia tetap ikhlas melakukan itu semua. Itu adalah hikmah yang bagaimanapun, mesti kita terus resapi dalam kehidupan. Untuk dengan ikhlas lalui hidup yang Allah berikan di kemudian hari. Ini adalah hikmah mendasar dari kisah Nabi Ibrahim.

Tapi di balik itu semua, ada sebuah pelajaran yang lebih besar. Pelajaran akan keluarga, yang mungkin terdengar asing bagi aktivis gender, feminis, atau liberal sekarang.
Yaitu pelajaran di mana, dalam waktu yang tidak sedikit, demi Allah, mungkin kita harus letakkan keluarga kita dalam sakit dan ujian. Karena akan ada saatnya, saat berkeluarga, kita akan berpisah dengan keluarga kita. Bukan karena perintah yang Allah langsung berikan, tapi karena itulah yang harus kita lakukan jika benar-benar mendaku berjalan di jalan-Nya.

BACA JUGA: BACA JUGA: Selamat; Khutbatu-l- ‘Arsy Ke III UNIDA GONTOR Sukses Digelar

Kita para santri, tentu sadar apa itu pengorbanan. Semenjak kecil, kita sudah tinggalkan keluarga di kampung halaman. Di saat yang sama, banyak anak yang dengan nyaman tinggal di rumah mereka bersama orang tua. Tapi kita memilih jalan yang lain, keluar dari zona nyaman, tinggalkan keluarga di rumah.
Pertanyaannya, kenapa? Maka saat lelah mulai terasa, dan rindu kian menggelora, ingatlah ujian yang Nabi Ibrahim lalui bersama keluarganya.

Tinggalkan ayah. Ditolak masyarakat. Dibakar hidup-hidup. Tinggalkan istri dan anak. Sembelih anak yang pasti dicinta. Dan Ibrahim masih saja Lillah. Ia tidak mengeluh, tidak komplain kepada Dzat Yang Maha Mencipta. Karena Ibrahim yakin, di akhir jalan, Allah tidak pernah tinggalkan hamba-Nya yang setya.

وَجَـٰهِدُوا۟ فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦ ۚ هُوَ ٱجْتَبَىٰكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍۢ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَ‌ٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِى هَـٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعْتَصِمُوا۟ بِٱللَّهِ هُوَ مَوْلَىٰكُمْ ۖ فَنِعْمَ ٱلْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ ٱلنَّصِيرُ [٢٢:٧٨]

Maka di hari Idul Adha nanti, mari kita ramaikan keberhasilan Nabi Ibrahim. Dan di umur yang masih muda, Allah masih tetapkan diri untuk berada di jalan-Nya. Semoga Allah selalu berikan petunjuk dan cahaya-Nya kepada kita. Berikan keistiqomahan untuk lalui onak duri dan rintangan di kemudian hari.
Wallahu’alam.

Penulis adalah peserta PKU Angkatan XIII
Ed. admin PKU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *